Korupsi Mengkhawatirkan, Islam Memberi Solusi Mencerahkan !

Oleh: Ummu Fahhala
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Majalengka // zonakabar.com – Dahulu Alm. Gusdur pernah berkata “Korupsi saat Orde Lama, di bawah meja. Orde Baru, di atas meja dan reformasi, mejanya sekalian dikorupsi.” Faktanya bisa dirasakan sekarang. Korupsi semakin parah. Bahkan presiden mengatakan korupsi di Indonesia mengkhawatirkan, dilansir kompas.com, 13/02/2025.

Korupsi terjadi secara sistemik pada hampir seluruh bidang kehidupan dengan jumlah nominal yang fantastis mencapai 1000 triliun uang rakyat di korupsi. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberantasnya, dari mulai pembuatan Undang-Undang dan pembentukan lembaga pemberantasan korupsi, belum berhasil menanggulangi sampai ke akarnya.

Pemberantasan korupsi tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan, sangat mudah dipahami karena akar masalah tindak korupsi bukan hanya terletak pada moral individu pejabat melainkan pada sistem yang diterapkan, yakni sistem kapitalisme sekuler.

Orientasi kepemimpinannya hanya untuk meraih keuntungan, kedaulatan hukum ada di tangan manusia khususnya para oligarki sehingga bisa diotak-atik sesuai kepentingan, praktik sistem politiknya pun mahal, semua itu membuka peluang terjadinya korupsi secara sistemik. Alhasil lagi-lagi rakyat yang menjadi korban.

Solusi Islam

Islam memberantas korupsi sampai ke akarnya. Islam pun mampu menutup rapat-rapat celah korupsi dari mulai pembuatan mekanisme praktik sistem politik Islam yang tidak mahal dan sangat sederhana. Kekosongan posisi pemimpin negara maksimal tiga hari tiga malam, sehingga dalam rentang waktu tersebut kaum muslimin harus melakukan pemilihan dan pembaiatan.

Kepemimpinan Islam bersifat tunggal, pengangkatan dan pencopotan pejabat negara menjadi kewenangan pemimpin negara. Konsep politik seperti ini tidak akan memunculkan persekongkolan dalam mengembalikan modal dan keuntungan kepada cukong politik. Ini termasuk diantara upaya pencegahan praktik korupsi.

Kualifikasi rekrutmen pegawai negara wajib berdasarkan profesionalitas dan integritas bukan berasaskan koneksitas nepotisme atau praktik balas budi. Para pegawai negara wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syahsiyah Islamiyah).

Rasulullah Saw. bersabda “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat,” hadis riwayat Al-Bukhari.

Untuk mendapatkan kualifikasi pegawai yang demikian, penerapan sistem pendidikan Islam bertujuan membentuk generasi bersyakhsiyah Islamiyah, terdiri dari pola pikir (akliyah) dan pola sikap (nafsiyah) islami. Maka generasi akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri agar menjauhi kemaksiatan seperti tidak amanah dalam jabatan, melakukan korupsi dan sebagainya.

Negara memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada pegawainya, sebagaimana perintah Rasulullah Saw. “Siapa saja yang kerja untuk kami tapi tak punya rumah hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan,” (HR. Ahmad).

Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar bin Khattab, “Cukupilah para pegawaimu agar mereka tidak berkhianat,”

Islam juga menetapkan kebijakan para pegawai negara haram menerima suap dan hadiah. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah Saw. dalam hadisnya “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran,” (HR. Ahmad).

Selain itu, Islam memiliki kebijakan yang unik untuk menelusuri pegawainya supaya tidak terlibat tindak korupsi.

Sistem Islam melakukan perhitungan kekayaan bagi para pegawai negara di awal dan di akhir jabatannya dengan melakukan pembuktian terbalik. Jika ditemukan penambahan harta yang tidak wajar atau jika masih saja ada pegawai yang korup, maka sistem Islam akan memberi sanksi menjerakan untuk memberantasnya.

Syaikh Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya Nizhamul Ukubat halaman 78 hingga 89 bahwa hukuman untuk koruptor masuk kategori takzir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim, bentuknya mulai dari mulai teguran sampai hukuman mati, disesuaikan dengan ringan beratnya kejahatan.

Ukubat bersifat jawabir (penebus dosa) bagi pelaku dan zawajir (pencegah) agar masyarakat tidak melakukan hal yang sama. Harta hasil korupsi menjadi harta gulul yang akan diambil negara dan dimasukkan ke dalam pos kepemilikan negara di Baitul Mal.

Ditambah lagi, adanya kontrol masyarakat yang senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar, maka tidak ada sedikit pun celah keculasan di entitas masyarakat. Maka hanya aturan dari Allah Swt. yakni syari’at Islam, yang mencerahkan dan mampu memberantas korupsi dengan tuntas sampai ke akarnya.

Pos terkait