Di Balik Papan Tulis, Ada Suara yang Hampir Tak Terdengar

Oleh: Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Pagi yang Tak Lagi Biasa

Bacaan Lainnya

Mentari baru saja menyibak langit Banten. Udara masih sejuk, dan burung-burung terdengar riuh di kejauhan. Di sebuah ruang kelas sederhana, Pak Arif menatap papan tulis dengan pandangan kosong. Tangannya memegang sebatang spidol, tapi pikirannya tak ada di sana. Hatinya penuh tanya: “Apakah bulan depan aku masih bisa mengisi dapur?”

Pak Arif adalah guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di sebuah sekolah negeri di Serang. Sudah 17 tahun ia mengabdi. Setiap pagi, ia berangkat lebih awal, menyusuri jalan dengan sepeda motor tuanya yang sering mogok. Bukan karena gajinya besar. Bukan karena pekerjaannya mudah. Tapi karena ia mencintai anak-anak didiknya seperti anaknya sendiri.

Namun pagi itu berbeda. Ia baru saja membaca berita yang membuat tubuhnya lemas: Tunjangan Tugas Tambahan (Tuta) dicoret dari APBD 2025. “Kami tidak mampu mempertahankan Tuta karena adanya efisiensi anggaran,” ujar Kepala BPKAD Provinsi Banten, seperti yang dimuat dalam media mainstream pada 24 Juni 2025.

Dialog Sunyi di Ruang Guru

Di ruang guru, suasana lebih sunyi dari biasanya.

“Pak Arif, tuta benar-benar dicoret ya?” tanya Bu Nani lirih, hampir seperti berbisik.

“Iya, Bu… Saya baru baca beritanya. Kalau ini terus terjadi, saya mungkin harus cari kerja tambahan lagi malam hari,” jawab Pak Arif sambil menatap meja kerjanya yang sudah mulai rapuh dimakan usia.

Mereka saling menatap, tidak dengan amarah, tapi dengan kepedihan yang mendalam. Bukan hanya soal uang, tapi soal penghargaan. Mereka seolah dilupakan. Mereka hanya diingat saat upacara Hari Guru.

Mereka Bukan Marah, Tapi Letih

Tidak ada teriakan. Tidak ada demo besar-besaran. Tapi ada surat yang dilayangkan ke DPRD. Ada rencana turun ke jalan, bukan untuk menuntut kekuasaan, tapi sekadar meminta hak. Guru-guru ini bukan pembuat onar. Mereka hanya ingin bisa hidup dengan layak.

Sebagaimana dikutip dari pemberitaan salah satu media mainstream, mereka tengah berupaya agar suara mereka terdengar.

“Kami tak ingin gaduh, tapi kalau suara kami tak didengar, harus bagaimana lagi?” ucap seorang guru dalam forum diskusi daring.

Mengapa Guru Sering Terlupakan?

Ini bukan hanya soal satu provinsi. Ini tentang bagaimana negara memandang guru. Mereka yang mengukir masa depan anak bangsa, sering kali harus bertahan hidup dengan penghasilan minim. Bahkan, menurut anggota Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, ketika diwawancarai oleh salah satu media online, “Idealnya gaji guru di Indonesia adalah Rp 25 juta per bulan agar layak secara ekonomi,” tuturnya.

Tapi realitanya jauh panggang dari api. Guru dianggap seperti profesi biasa, bukan peletak fondasi peradaban. Sistem keuangan hari ini membuat negara lebih sering berhemat daripada berinvestasi pada pendidikan.

Ketika Guru Menjadi Pilar Peradaban

Pada masa Rasulullah Saw. dan para sahabat. Guru dihormati, disayangi, dan dijamin hidupnya. Rasulullah Saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, dan seluruh penghuni langit dan bumi, hingga semut di dalam lubangnya dan ikan di laut, mendoakan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi)

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, guru anak-anak yatim digaji dari Baitul Mal (kas negara) dengan jumlah yang fantastis, yakni 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Negara tidak membiarkan mereka mencari penghasilan tambahan. Mereka cukup fokus mendidik.

Mengapa bisa demikian? Karena dalam sistem Islam, kekayaan alam dikelola sebagai milik umum, bukan diprivatisasi. Negara punya cukup dana, tanpa perlu berutang atau memangkas hak rakyat. Ini ditegaskan dalam hadis, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)

Harapan dari Sebuah Ruang Kelas

Pak Arif kembali berdiri di depan kelas. Anak-anak mulai berdatangan. Wajah-wajah lugu yang belum tahu beratnya hidup di luar ruang sekolah.

“Pak, hari ini kita belajar apa?” tanya Rani, siswi kelas 7, dengan semangat.

Pak Arif tersenyum, meski lelah. “Hari ini kita belajar tentang semangat. Karena semangat bisa mengalahkan lelah, asal niatnya untuk kebaikan.”

Di luar, langit mulai mendung. Tapi cahaya harapan di ruang itu tetap menyala. Meski tunjangan hilang, semangat guru tak pernah padam. Mereka tetap berdiri, meski tak selalu diperhatikan, demi satu cita yakni mencetak generasi yang lebih baik dari mereka.

Pos terkait