Gunung Sampah di Depan Mata

Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Majalengkan // zonakabar.com – “Ayah… baunya menyengat sekali.” Seorang bocah kecil menutup hidungnya saat melintas di tumpukan sampah yang menggunung di tepi jalan. Ayahnya hanya menghela napas panjang. “Nak, ini bukan hanya bau. Ini tanda negeri kita sedang sakit.”

Bacaan Lainnya

Pemandangan itu bukan sekadar potret satu sudut kota. Di banyak tempat di Jawa Barat, gunungan sampah menjelma monster yang menakutkan. Komisi I DPRD Jawa Barat bahkan mendesak pemerintah provinsi segera menyelesaikan proyek TPPAS Legoknangka dan Lulut Nambo yang mangkrak bertahun-tahun. Jika tidak, darurat sampah akan jadi kenyataan pahit. (27 September 2025).

Kota yang Tua, Masalah yang Sama

Di Bandung, kota yang sudah berusia 215 tahun, masalah sampah dan banjir tak kunjung selesai. Wakil Gubernur Jawa Barat, Erwan Setiawan, sendiri menyorotinya dengan nada prihatin (25 September 2025).

Di sebuah warung kopi, seorang pria paruh baya bergumam, “Bandung ini sudah tua, tapi penyakitnya masih sama: banjir dan sampah. Sampai kapan kita harus hidup begini?” Seorang pemuda di sebelahnya menimpali, “Selama penguasa hanya janji, dan kita hanya diam, sampah ini akan terus jadi wajah kota.”

Luka yang Terabaikan

Darurat sampah bukan sekadar bau busuk di hidung. Ia luka yang menembus dada rakyat. Minimnya edukasi membuat masyarakat tak paham cara mengelola sampah rumah tangga. Di sisi lain, proyek pengolahan sampah yang mangkrak memperlihatkan kelalaian penguasa.

Prof. Enri Damanhuri, Guru Besar ITB, pernah memperingatkan: masalah sampah adalah bom waktu. Tanpa perubahan paradigma, masalah ini akan terus berulang (2024). Namun, suara itu sering tenggelam dalam riuh janji pembangunan yang tak pernah tuntas.

Seorang ibu rumah tangga di Cikadut berkata lirih, “Kami hanya bisa buang sampah ke depan rumah. Tak ada yang mengangkut berhari-hari. Sungai jadi hitam. Anak-anak pun sering batuk. Siapa yang peduli dengan kami?”

Sampah yang menumpuk adalah tanggungjawab bersama. Negara seharusnya menjaga ruang hidup rakyat, bukan membiarkannya rusak. Rasulullah Saw. bersabda, “Imam adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”

Namun hari ini, rakyat sendiri yang harus menanggung bau, penyakit, dan bencana. Sampah jadi simbol negara yang abai. Di mata rakyat, janji penguasa hanyalah suara yang lenyap di udara, tak berbekas di jalan-jalan penuh sampah.

Jalan Terang dari Islam

Islam mengajarkan kelestarian lingkungan sebagai bagian dari iman. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS Al-A’raf: 56).

Bayangkan, Rasulullah Saw. pun saat berperang melarang para sahabat menebang pohon dan merusak lingkungan. Bahkan dalam kondisi genting, beliau tetap menjaga bumi. Para sahabat memahami ayat Allah, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia…” (QS Ar-Ruum: 41). Maka jelas, kerusakan lingkungan hari ini adalah akibat perbuatan manusia yang tak lagi memegang amanah.

Seorang ustaz pernah berkata di sebuah pengajian, “Sampah yang kita buang sembarangan adalah bukti lemahnya iman. Negara yang membiarkan rakyatnya hidup dalam tumpukan sampah adalah negara yang lupa pada amanah Allah.”

Negara Harus Hadir

Islam tidak berhenti pada nasihat moral. Negara wajib hadir. Negara harus mendidik rakyat agar hemat, tidak konsumtif, dan memilah kebutuhan dari keinginan. Konsumerisme, buah dari kapitalisme, justru memicu gunungan sampah.

Seorang guru bercerita pada muridnya, “Anak-anak, jangan buang makananmu. Nabi kita mengajarkan kesederhanaan. Kalau kita boros, sampah makin banyak, bumi makin rusak.” Anak-anak menatap penuh harap. Mereka tahu, perubahan bisa dimulai dari hal kecil.

Namun, tanpa negara yang kuat, semua itu hanya jadi usaha setengah jalan. Islam menegaskan, pemimpin wajib mengurus rakyat dengan keimanan. Negara harus membangun sistem pengelolaan sampah yang berlandaskan akidah, bukan keuntungan. Inilah perbedaan mendasar dengan sistem kapitalisme yang hanya menghitung untung rugi.

Penutup

Gunung sampah di depan mata adalah peringatan keras. Jika kita terus diam, luka ini akan semakin dalam. Islam telah menunjukkan jalan: individu, masyarakat, dan negara bersatu dalam iman untuk menjaga bumi.

Pertanyaan besarnya: apakah kita rela mewariskan bau busuk, banjir, dan penyakit pada anak cucu? Ataukah kita siap bangkit, mengganti paradigma yang salah dengan cahaya Islam yang menyelamatkan bumi?

Pos terkait