Oleh: Annisa Rahma S.
Majalengka // zonakabar.com – Sejatinya hidup bersama dengan orang yang disayangi merupakan bentuk ideal bagi setiap insan yang normal karena akan menciptakan suasana positif bagi keduanya: saling membantu, mendukung, dan memecahkan masalah bersama. Namun, bagaimana jadinya jika tinggal bersama (cohabitation atau dalam bahasa gaul disebut kumpul kebo) tanpa ikatan pernikahan menjadi salah satu pilihan generasi saat ini? Alasannya beragam, mulai dari ingin lebih mengenal pasangan sebelum ke jenjang serius hingga pertimbangan ekonomi.
Kohabitasi bukanlah hal yang sederhana, bahkan seharusnya tidak dianggap biasa. Keputusan ini tidak bisa diambil begitu saja tanpa memikirkan konsekuensinya. Faktanya, publik sempat digemparkan dengan kasus pembunuhan sadis di Mojokerto. Puluhan potongan tubuh ditemukan, yang ternyata adalah korban mutilasi oleh Alvi Maulana (24) terhadap pacarnya, TAS (25). Keduanya diketahui tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Alasan pelaku pun sepele: kesal karena tidak dibukakan pintu kos dan merasa terbebani tuntutan ekonomi.
Kasus ini memberi catatan kelam dari tren kehidupan bebas generasi muda. Living together tanpa ikatan pernikahan makin banyak dipilih dengan alasan perkenalan mendalam hingga efisiensi biaya hidup. Padahal, pernikahan justru solusi yang benar bagi pasangan yang saling mencintai: sah secara agama, bernilai kebaikan sosial, sekaligus sesuai dengan budaya.
Di balik fenomena ini, sekularisme—paham yang memisahkan agama dari kehidupan—telah membuat seseorang merasa bebas bertindak sesuka hati. Marah, cinta, senang, dilampiaskan dengan cara apa pun tanpa peduli halal-haram, termasuk tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Normalisasi kumpul kebo di kalangan anak muda merupakan tren toksik, buah dari sekularisme. Dalam masyarakat sekuler-liberal, aktivitas pacaran bahkan tinggal serumah bukan lagi tabu, bahkan dianggap lumrah.
Padahal Allah dengan tegas berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Kasus seperti di Mojokerto hanyalah satu dari sekian banyak yang muncul ke permukaan karena adanya korban. Tentu sangat tidak diharapkan tragedi serupa menjangkiti generasi muda. Di sinilah pentingnya peran negara untuk membentuk rakyat agar memiliki pemahaman hidup yang benar, yakni pemahaman Islam. Sayangnya, negara saat ini abai terhadap aktivitas pacaran dan perzinaan. Dalam pandangan Islam, ini jelas merupakan tindak pidana yang ada hukumannya, sedangkan dalam sistem sekuler hanya dianggap masalah jika ada korban atau kerugian.
Sistem sosial Islam sejatinya menjadi benteng pertahanan agar manusia terjaga dari kerusakan. Ketakwaan individu adalah benteng awal, membuat seseorang menjauhi larangan Allah. Sebab segala larangan Allah sejatinya merugikan manusia, sementara perintah-Nya mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat. Dengan ketakwaan, seseorang akan menjauhi perbuatan haram seperti pacaran, zina, hingga tindak kriminal.
Selain itu, masyarakat juga wajib berperan aktif mengingatkan dan mencegah kemungkaran. Namun, pencegahan tidak cukup hanya diserahkan pada individu atau masyarakat. Negara harus menerapkan Islam secara kaffah (sempurna), membentuk rakyat yang berkepribadian Islam melalui sistem pendidikan berbasis akidah, menata pergaulan sesuai syariat, serta menegakkan sanksi Islam bagi pelaku pelanggaran hukum. Hanya dengan sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh, generasi akan terjaga dari gaya hidup sekuler yang menyesatkan. Wallahu a‘lam.