” Langkah Tangguh di Kaki Gunung Karamat “

Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Majalengka // zonakabar.com – Kabut tipis menari di kaki Gunung Karamat. Embun menempel di daun-daun kubis yang segar, seolah ikut mendengar suara langkah kecil yang perlahan mendekat.
Di balik kerudung, seorang perempuan paruh baya berjalan tertatih di jalan tanah yang basah. Di tangannya, cangkul kecil dan kantong bekal nasi dingin.

Bacaan Lainnya

“Emak jalan kaki dari Cikole ke situ, tiap hari, Sabaraha jam emak jalan untuk bisa ke sana kerja?” tanya Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, yang waktu itu mengantarnya dengan mobil.

“Emak ti sana teh setengah enam pagi, masih keneh gelap, Terus nyampe ke tempat udah terang jam setengah dalapan,” kata Emak sambil menceritakan kondisi suaminya yang sakit dan tidak bisa kerja.

Momen itu terekam indah dalam kunjungan Kang Dedi di Cikole, Lembang, sebagaimana diberitakan oleh laman resmi Bapenda Jawa Barat pada 2 Oktober 2025 Namun di balik senyum dan peluh itu, tersimpan pertanyaan besar yang menggantung di udara: Haruskah perjuangan hidup seorang perempuan tua menjadi kisah yang kita kagumi, bukan masalah yang kita selesaikan?

Kisah perempuan itu memang menggugah. Tapi di balik kisah tangguh itu, ada realitas yang membuat dada sesak, tentang betapa beratnya hidup rakyat kecil di tanah yang katanya makmur.

Kita sering menepuk tangan dan menyebut mereka “hebat” atau “inspiratif”. Padahal, ketangguhan mereka adalah tanda bahwa negara masih jauh dari kata hadir.

“Ketika rakyat miskin dipuja karena daya tahannya, itu tanda sistem gagal melindungi,” kata Dr. Imam Prasodjo, sosiolog dari Universitas Indonesia, dalam seminar tentang kemiskinan struktural (Jakarta, 2023).

Kalimatnya sederhana tapi menusuk: memuja ketangguhan rakyat kecil sama saja dengan menormalisasi penderitaan.

Di Balik Citra, Ada Luka yang Tak Sembuh
Dialog antara Kang Dedi dan Emak mungkin tampak hangat. Tapi jika didengar lebih dalam, ada getar kesedihan di balik itu.

Namun, kekuatan itu seharusnya tidak menjadi alasan negara berdiam diri. Mengapresiasi tanpa memperbaiki sama saja dengan menambal luka dengan pujian.

Sistem kapitalisme yang menguasai kebijakan membuat keadilan seolah mewah. Negara sering sibuk memperindah citra empati, sementara rakyatnya berjuang sendirian.

Ketika Peluh Menjadi Cermin Bangsa

Bayangan Emak tadi yang berjalan di bawah sinar mentari pagi seakan menjadi cermin bagi bangsa ini, cermin yang memantulkan wajah ketimpangan.

Negeri yang subur, tapi tak semua rakyatnya makmur. Negeri yang gemar berpidato tentang kemanusiaan, tapi abai pada kemiskinan yang nyata di depan mata.

Rasulullah Saw. Bersabda, “Pemimpin itu pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadis itu seolah menggema di ladang Cikole. Seorang Emak yang terus melangkah meski lututnya gemetar karena usia senja, menjadi saksi bisu bahwa kepemimpinan bukan tentang kata-kata, tapi tindakan nyata.

Ketika Islam Menjawab dengan Keadilan yang Hidup

Islam bukan sekadar agama ibadah, tapi sistem yang menata kehidupan. Negara berdiri di atas kewajiban untuk meriayah (mengurusi) rakyatnya, bukan membiarkan mereka berjuang sendiri.

Dalam sistem Islam, Baitulmal mengelola kekayaan negara dari zakat, kharaj, jizyah, hingga hasil sumber daya alam, untuk menjamin kebutuhan rakyat. Pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur bukan barang mewah, tapi hak yang dijamin.

Perempuan seperti Emak tadi tidak perlu bekerja keras di usia senja, karena negara memastikan ia mendapat bagian dari harta zakat hingga ia tidak lagi miskin.

Khalifah Umar bin Khattab pernah mencontohkan hal itu. Suatu malam, ia memanggul gandum sendiri untuk diberikan kepada ibu miskin. Ketika sahabat menawari bantuan, ia berkata: “Apakah engkau mau menanggung dosaku di akhirat?”

Begitulah wajah kepemimpinan sejati, hadir tanpa kamera, menolong tanpa naskah, dan mencintai rakyat tanpa pamrih.

Langkah yang Menyadarkan Negeri

Sinar mentari mulai condong ke barat. Emak itu berjalan pulang perlahan, melewati jalan yang sama. Di bawah langit Cikole yang sejuk itu, langkah kecilnya terasa seperti doa panjang untuk negeri ini, doa agar negara benar-benar hadir, bukan hanya kagum.

Karena kekuatan sejati bukanlah saat rakyat terus bertahan, melainkan ketika negara membuat mereka tak perlu lagi bertahan sekuat itu. Dan mungkin, di antara embun yang menetes di kaki Gunung Karamat, Allah Swt. sedang menatap langkah itu, langkah yang menggetarkan hati siapa pun yang masih punya nurani.

Pos terkait