Kurikulum Cinta di Madrasah : Solusi atau Masalah ?

Oleh: Efhira Hidayet

Majalengka // zonakabar.com – Pendidikan adalah hal yang penting dalam pembentukan manusia. Melalui pendidikan, karakter dapat dibentuk, pengetahuan dan keterampilan dapat ditingkatkan, serta kemampuan berpikir kritis dapat diasah. Oleh karena itu, kurikulum perlu dirancang sebaik mungkin agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Dalam satu dekade terakhir, kurikulum pendidikan di Indonesia kerap mengalami perubahan, termasuk kurikulum yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) untuk diterapkan di madrasah (MI, MTs, MA).

Bacaan Lainnya

Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Prof. Nurhayati, memberikan tanggapan terhadap Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang dikeluarkan Kemenag bulan lalu. Menurut Nurhayati, kurikulum ini merupakan investasi jangka panjang yang akan membentuk generasi menjadi manusia yang taat beragama dan memiliki kasih sayang terhadap sesama manusia dengan toleransi tinggi (m.antaranews.com, 25/7/2025).

Kekurangan Kurikulum Cinta
Kurikulum yang diluncurkan Menteri Agama Nasaruddin Umar ini dinilai hadir sebagai respons terhadap intoleransi, krisis kemanusiaan, dan degradasi lingkungan yang kian memprihatinkan. KBC menjadi wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Meskipun demikian, kurikulum ini menuai kritik dari berbagai tokoh masyarakat.

Salah satunya datang dari M. Febriyanto Firman Wijaya, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UM Surabaya. Ia menyampaikan kekhawatiran bahwa peserta didik akan kehilangan pemahaman yang benar tentang batasan-batasan dalam Islam jika hanya menitikberatkan pada aspek cinta tanpa pembangunan akidah yang kokoh. Ia juga menegaskan bahwa dari segi implementasi perlu ada kejelasan agar benar-benar memberikan manfaat tanpa membuat bingung peserta didik dan tenaga pengajar.

Kurikulum ini juga dinilai hanya berganti nama dari Kurikulum Moderasi Beragama (KMB) yang diluncurkan oleh menteri sebelumnya. Kemiripan konsep membuatnya seakan hanya menjadi rebranding ketika menteri berganti, tanpa perubahan substansi yang nyata. Hal ini memunculkan rasa jenuh dan sikap skeptis dari para guru yang merasa belum memahami KMB, tetapi kini harus berganti lagi menjadi KBC.

Dampaknya, kesulitan implementasi bisa memengaruhi kehidupan sehari-hari. Maka, tujuan pendidikan untuk mencetak generasi berprestasi dan berakhlak mulia akan sulit dicapai, terlebih dengan derasnya arus gaya hidup Barat. Oleh karena itu, diperlukan kurikulum yang berasaskan akidah yang benar, sesuai fitrah, dan dinamis tanpa mengubah substansinya.

Panduan KBC pun dinilai kurang mudah dipahami sehingga membingungkan guru dan kepala madrasah. Tenaga pengajar juga khawatir kurikulum ini akan menjadi mata pelajaran baru, bukan pendekatan, sehingga menambah pekerjaan mereka. Dengan segudang kesibukan administratif lainnya, hal ini berpotensi mengurangi efisiensi mengajar.

Selain itu, terdapat potensi bahaya terselubung dalam kurikulum ini, di antaranya deradikalisasi sejak dini dalam berbagai bentuk. Kurikulum ini juga dikhawatirkan mengajarkan generasi Muslim untuk bersikap keras terhadap sesama Muslim, tetapi lembut terhadap umat agama lain. Muslim yang berusaha taat secara menyeluruh bisa dicap radikal, sedangkan non-Muslim diperlakukan lembut meski batas akidah dilanggar.

Buah Penerapan Sekularisme
Semakin terlihat bahwa KBC adalah kurikulum berbasis sekularisme yang berpotensi menjauhkan generasi dari ajaran Islam. Sistem sekularisme yang diterapkan saat ini menjadikan akal sebagai sumber hukum dan penentu segala sesuatu. Peraturan yang diambil dari jalan tengah, namun menjauhkan dari kebenaran, jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Inilah buah dari penerapan sistem sekularisme: semuanya diatur untuk melanggengkannya. Pendidikan pun bukan lagi tentang membentuk generasi berprestasi dan berakhlak mulia, tetapi membentuk generasi yang tunduk pada sistem tersebut. Untuk itu, yang dibutuhkan bukan manusia yang cerdas, melainkan manusia yang mau diatur, dalam kondisi yang dibuat seakan tak bisa memilih sehingga pasrah terhadap keadaan, meskipun harus memeluk luka dan penderitaan.

Kurikulum Pendidikan dalam Islam
Berbeda dengan sekularisme, Islam menegaskan bahwa kurikulum pendidikan haruslah berdasarkan akidah Islam. Pendidikan merupakan bidang strategis untuk membentuk generasi berprestasi dan berkepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyah) sesuai ajaran Islam. Kepribadian Islam dibentuk oleh pemikiran dan sikap Islam, yang berasal dari penguatan akidah dan penanaman ketaatan kepada Allah SWT sejak dini.

Islam meyakini bahwa manusia adalah makhluk lemah dan terbatas. Dengan fakta itu, manusia tidak bisa membuat aturan untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Aturan yang berasal dari Allah adalah satu-satunya aturan yang dapat menghantarkan manusia pada kesejahteraan hakiki. Termasuk dalam ranah pendidikan, akidah Islam menjadi dasar yang tak tergantikan.

Toleransi dalam Islam
Berbicara tentang toleransi—yang menjadi latar belakang munculnya Kurikulum Cinta—Islam telah lebih dulu mengajarkannya sebelum dunia modern menyuarakannya. Islam berhasil menaungi manusia dengan berbagai perbedaan keyakinan, ras, dan warna kulit selama ratusan tahun, sejak masa Rasulullah ﷺ hingga para khalifah setelahnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah ﷺ menunjukkan teladan luar biasa dalam toleransi dan penghormatan terhadap sesama manusia tanpa membedakan agama. Beliau selalu menekankan pentingnya berbuat baik kepada tetangga, sebagaimana pesan Jibril yang terus-menerus mengingatkan beliau hingga beliau mengira tetangga akan dijadikan ahli waris. Bahkan, ketika jenazah seorang Yahudi lewat di hadapannya, beliau berdiri sebagai bentuk penghormatan. Saat para sahabat bertanya, “Itu jenazah orang Yahudi,” beliau menjawab, “Bukankah dia juga seorang manusia?” (HR. Bukhari no. 6014, Muslim no. 2625).

Sikap empati beliau juga tampak ketika menjenguk seorang anak Yahudi yang sedang sakit. Beliau duduk di sisinya, mengajaknya berbicara, dan dengan lembut mengundangnya kepada Islam, yang akhirnya diterima oleh anak tersebut (HR. Bukhari no. 1356). Meski demikian, beliau tidak pernah memaksa siapa pun masuk Islam, sebagaimana firman Allah, “Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah: 256).

Sikap-sikap ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ bukan hanya pemimpin umat Islam, tetapi juga teladan kemanusiaan bagi seluruh alam. Inilah toleransi yang perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan toleransi kebablasan ala sekularisme. Kehidupan damai antarumat beragama dapat terwujud tanpa melanggar batas-batas akidah jika berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah.

Islam yang bertentangan dengan sistem sekularisme akan terus dihambat kebangkitannya. Sebab, Islam yang menyeluruh (kaffah) akan membebaskan manusia dari belenggu sistem yang menjerumuskannya ke jurang kesengsaraan. Ketika manusia sadar bahwa hanya Islam yang layak menjadi sandaran hidup, Islam akan bangkit, dan sekularisme akan runtuh. Wallahu a‘lam bish-shawab.

gambar ilustrasi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *