Keracunan Massal Program MBG: Ancaman di Balik Janji Politik

Oleh: Reisyavitani Adelia Rahma

Kasus Terbaru di Sleman

Bacaan Lainnya

Sebanyak 135 siswa SMP Negeri 3 Berbah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi menu Makan Bergizi Gratis (MBG) berupa nasi kuning dengan lauk telur, abon, kering tempe, dan jeruk. Dua guru juga dilaporkan sakit. Dari jumlah tersebut, 66 siswa mendapat perawatan di sekolah, satu orang dirawat di RSUD Prambanan, dan dua lainnya di Puskesmas Berbah (Tirto.id, 27 Agustus 2025). Kepala sekolah menegaskan seluruh 380 siswa mengonsumsi menu MBG, meskipun hanya 29 orang yang mengalami gejala cukup berat. Hingga kini, penyebab keracunan masih menunggu hasil laboratorium dari Dinas Kesehatan Sleman.

Rentetan Kasus Serupa di Daerah Lain

Sleman bukanlah kasus pertama. Pada 21 Mei 2025, ratusan siswa di Kabupaten Lebong, Bengkulu, juga mengalami keracunan massal usai menyantap menu MBG (CNN Indonesia, 21 Mei 2025). Data Dinas Kesehatan mencatat 427 anak terpapar dengan gejala muntah dan diare, bahkan beberapa harus dirawat di rumah sakit.

Beberapa bulan sebelumnya, kasus serupa terjadi di Sragen, Jawa Tengah, pada 29 Februari 2024, dengan puluhan siswa mengalami gejala serupa. Hasil laboratorium menunjukkan persoalan utama bukan hanya dari bahan makanan, melainkan juga dari sanitasi lingkungan dapur penyedia (Detik.com, 29 Februari 2024).

Di Lampung Timur, pada 15 April 2025, 20 siswa SMP Negeri juga mengalami keracunan setelah mengonsumsi menu MBG (Kompas.id, 15 April 2025). Pemeriksaan menunjukkan dugaan kontaminasi bakteri akibat distribusi makanan yang tidak higienis.

Rentetan peristiwa ini memperlihatkan pola yang berulang: penyelenggaraan MBG seringkali tidak memperhatikan standar higienitas dan keamanan pangan secara ketat. Seharusnya hal ini diperhatikan secara serius karena menyangkut keselamatan individu.

Program Politik yang Belum Matang

MBG merupakan program andalan Presiden yang dijanjikan saat kampanye, dengan tujuan mengurangi stunting, memperbaiki gizi anak sekolah, serta mendorong ekonomi lokal melalui pengadaan bahan pangan dari petani dan UMKM (Kompas.id, 15 April 2025). Secara konsep, program ini diharapkan menjadi solusi bagi masalah gizi nasional.

Namun, pelaksanaan di lapangan menunjukkan kelemahan serius. Berulangnya kasus keracunan menandakan lemahnya standard operating procedure (SOP) serta pengawasan terhadap Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG). Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) bahkan menginstruksikan penghentian sementara operasional SPPG di sejumlah daerah setelah kasus Lebong mencuat.

Ketidakmatangan manajemen justru menimbulkan risiko baru: ancaman kesehatan massal. Alih-alih menurunkan stunting, program ini malah menimbulkan keresahan di kalangan orang tua.

Kritik Masyarakat dan Usulan Alternatif

Sejumlah orang tua siswa meminta evaluasi serius terhadap program MBG. Sebagian berpendapat pemberian bantuan dalam bentuk uang saku akan lebih fleksibel, karena anak bisa memilih makanan sendiri. “Kalau ada program MBG, ya dimakan. Kalau tidak ada, anak-anak tetap bisa beli makanan lain,” ungkap Bagio, wali murid SMPN 3 Berbah (Tirto.id, 27 Agustus 2025).

Selain itu, kritik juga diarahkan pada pemerintah pusat yang dinilai terlalu terburu-buru menjalankan program tanpa kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai.

Evaluasi: Gizi Bukan Sekadar Makanan Gratis

Ahli gizi menekankan bahwa pemberian makanan gratis bukanlah solusi tunggal mengatasi stunting. Penyebab stunting sangat kompleks, meliputi pola asuh, sanitasi lingkungan, akses air bersih, hingga layanan kesehatan ibu dan anak. Tanpa perbaikan menyeluruh, program MBG berisiko menjadi proyek politik yang mahal tetapi minim dampak.

Evaluasi mendalam diperlukan agar MBG tidak sekadar menjadi “program pencitraan,” melainkan benar-benar memberi manfaat. Keamanan pangan harus menjadi prioritas dengan standar ketat mulai dari pemilihan bahan, proses masak, distribusi, hingga pengawasan kesehatan.

“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Negara dan Tanggung Jawab Kesejahteraan

Dalam perspektif Islam, negara berkewajiban menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk penyediaan pangan bergizi yang aman. Tugas ini bukan sekadar memenuhi janji politik, tetapi amanah untuk menjaga nyawa dan kesehatan masyarakat. Sistem yang kokoh, dengan tata kelola sesuai syariat, akan mampu mencegah stunting maupun gizi buruk secara komprehensif. Mekanisme itu berupa kebijakan-kebijakan langsung maupun tidak langsung, diantaranya:

Pertama, Islam memperhatikan dan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan dasar manusia ini tidak sepenuhnya dibebankan pada individu namun diurusi oleh negara yang bersifat raa’in (pengurus rakyat). Dan penyediaan makanan bergizi bisa dimulai dari kemudahan masyarakat untuk mengakses pangan sehat dengan harga terjangkau. Sehingga setiap individu mampu untuk memenuhi kebutuhan gizi harian.

Kedua akses pendidikan, keamanan dan kesehatan yang disediakan negara secara gratis. Negara akan menyediakan fasilitas dan sarana yang memadai agar ketiga aspek tersebut bisa berjalan dengan baik. Dengan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam untuk pembentukan kepribadian Islam (Syakhsiyyah Islamiyah), pelayanan prima dari aspek kesehatan, nuserta keamanan yang merata bagi seluruh rakyat, akan dipastikan semuanya dapat menjangkau seluruh rakyat tanpa terkecuali.

Ketiga adalah pengalokasian dana untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Anggaran tersebut didapat dari berbagai pos sesuai dengan ketentuan peruntukannya. Ada pos fai dan kharaj, kepemilikan umum seperti sumber daya alam dan zakat. Islam yang berdiri secara independen atau mandiri ini juga membuat Islam dapat melayani rakyat secara totalitas tanpa mempertimbangkan segelintir kelompok.

Tanpa perbaikan fundamental, MBG hanya akan menambah daftar panjang kegagalan program politik yang mengorbankan keselamatan rakyat. Maka sudah saatnya sistem Islam kembali diterapkan, agar kebijakan yang lahir tidak hanya gali-tutup lobang tapi kebijakan komprehensif. Dengan begitu, semua masalah diselesaikan tanpa menimbulkan masalah baru.

Referensi
• Tirto.id. 27 Agustus 2025. “135 Siswa SMPN 3 Berbah Sleman Keracunan Usai Konsumsi Makan Bergizi Gratis.”
• CNN Indonesia. 21 Mei 2025. “Ratusan Siswa di Bengkulu Keracunan Makanan Bergizi Gratis.”
• Detik.com. 29 Februari 2024. “Puluhan Siswa di Sragen Keracunan, Diduga Akibat Sanitasi Dapur Penyedia.”
• Kompas.id. 15 April 2025. “20 Siswa SMP di Lampung Timur Keracunan Makanan Gratis dari Pemerintah.”
• Kompas.id. 15 April 2025. “Janji Politik Makan Gratis untuk Atasi Stunting Masih Bermasalah di Lapangan.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *