Ibu, Kenapa Aku Kurus Terus?

Oleh: Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Majalengka // zonakabar.com – Sore itu, di sebuah rumah kayu yang berdiri miring di pinggiran Bandung, suara kecil memecah keheningan. “Ibu… kenapa aku kurus terus ya? Teman-teman bilang badanku kayak lidi.”

Bacaan Lainnya

Ibu Tari hanya tersenyum, sambil memeluk Raka, anaknya yang baru berusia lima tahun. Matanya basah. Bibirnya bergetar menahan jawaban yang pahit. Ia tahu Raka bukan sakit. Ia hanya kekurangan gizi.

“Ibu masakin telur nanti malam, ya,” katanya pelan. Tapi dalam hati, ia tahu, satu-satunya telur tersisa sudah dibagi dua pagi tadi.

Beberapa hari lalu, berita di TV mengumumkan kenaikan APBD Jawa Barat tahun 2025 sebesar Rp 1,13 triliun. Jumlah itu akan menaikkan total anggaran menjadi Rp 32,82 triliun. Sekretaris Daerah, Pak Herman Suryatman, menyampaikan bahwa anggaran itu akan digunakan untuk mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan stunting.

Ibu Tari menyimak berita itu sambil menatap panci kosong di dapurnya.
“Semoga beneran sampai ke sini ya, Nak,” bisiknya sambil mengusap kepala Raka.

Anggaran besar selalu datang tiap tahun. Tapi mengapa dapur tetap sepi? Mengapa Raka belum juga tumbuh seperti anak-anak lain? Mengapa suaminya, Pak Yanto, masih juga belum dapat pekerjaan tetap setelah dirumahkan tiga tahun lalu?

“Sudah daftar ojek online?” tanya tetangga.
“Sudah. Tapi sepeda motornya ditarik leasing,” jawab Pak Yanto lirih.

Ia ingin bekerja. Tapi siapa yang mau mempekerjakan bapak dua anak tanpa ijazah, tanpa kendaraan, dan tanpa koneksi?

Di Mana Arah Anggaran Itu?

Anggaran boleh naik, tapi dampaknya harus terasa nyata. Menurut Dr. Budi Santosa dari Universitas Padjadjaran, tambahan dana tak berarti apa-apa jika tidak digunakan untuk menyentuh masalah mendasar.

“Stunting dan pengangguran bukan sekadar data. Itu tentang kehidupan yang tak berjalan normal. Itu soal masa depan yang hilang,” ujarnya di salah satu media mainstream, 20 Juni 2024.

Ibu Tari membuktikannya sendiri. Anaknya stunting, suaminya menganggur, dan ia sendiri harus menggadaikan cincin kawin hanya untuk membeli beras. Semua itu terjadi saat negara punya dana lebih dari 32 triliun rupiah.

Sistem yang Tidak Melayani

Masalah ini bukan hanya soal kurang dana. Ini soal sistem. Sistem yang membiarkan rakyat kecil seperti keluarga Ibu Tari berjalan sendirian. Sistem yang tidak memberi perlindungan ekonomi dan sosial secara menyeluruh. Sistem yang tumbuh dari akar kapitalisme, yang lebih menghitung angka ketimbang derita.

Banyak program hanya menambal, bukan menyembuhkan. Banyak proyek hanya menggugurkan kewajiban, bukan memperjuangkan keadilan. Dalam sistem seperti ini, angka naik, tapi penderitaan tetap tinggal.

Saat Islam Menjadi Sistem Kehidupan

Islam pernah menjadi sistem yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat. Rasulullah saw. mengajarkan bahwa pemimpin adalah pelayan umat, bukan penguasa. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Imam adalah penggembala, dan dia bertanggung jawab atas gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Umar bin Khattab menolak tidur sebelum memastikan rakyatnya kenyang. Saat rakyat kelaparan, ia sendiri tak makan. Negara Islam saat itu tidak hanya memberi dana, tetapi membangun sistem yang menjaga rakyat dari awal. Tidak ada judi. Tidak ada riba. Tidak ada ekonomi bebas yang menindas.

Dalam sistem Islam, stunting jarang terjadi karena negara menjamin kecukupan gizi keluarga. Pengangguran pun bisa ditekan karena negara membuka akses kepemilikan dan pekerjaan, bukan menyerahkan semuanya ke pasar bebas. Islam menghapus hambatan struktural yang menjebak rakyat kecil.

Bayangkan jika hari ini ada sistem yang mewajibkan negara menyediakan makanan pokok, pekerjaan, dan pendidikan bagi setiap keluarga. Sistem itu bukan mimpi. Itu pernah nyata dalam sejarah Islam.

Akhir dari Cerita

Malam itu, Raka tertidur lebih cepat. Perutnya kosong, tapi pelukan ibunya membuatnya hangat. Di luar, hujan turun pelan. Ibu Tari masih memandangi televisi yang menyiarkan berita ekonomi.

“Semoga tahun ini benar-benar berubah, Nak,” bisiknya. “Bukan hanya angkanya, tapi juga nasib kita.”

Uang bisa dicetak. Program bisa dibuat. Tapi tanpa arah yang benar, semua hanya ilusi. Islam menawarkan sistem yang pernah terbukti menyejahterakan manusia. Islam bukan hanya sebagai agama, tapi sebagai sistem hidup yang memberi harapan nyata. Karena setiap anak, seperti Raka, berhak tumbuh kuat dan bahagia, bukan hanya jadi angka dalam laporan statistik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *