Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Majalengka // zonakabar.com – Malam itu, gang sempit di salah satu sudut Bandung terasa lebih hidup. Lampu-lampu jalan redup, tapi suara tawa anak-anak yang masih bermain membuat suasana hangat. Di pos ronda, beberapa warga duduk melingkar, menyeruput kopi hangat sambil berbincang tentang program Warga Jaga Warga, Warga Jaga Kota.
“Katanya ini program dari Pemkot, ya?” tanya Asep, seorang pedagang kaki lima yang baru pulang berdagang.
“Iya, Kang. Bahkan DPRD mendukung penuh. Kita diminta lebih aktif menjaga lingkungan. Biar kota tetap aman dan kondusif,” jawab Ujang, ketua RT, dengan semangat.
Mereka berdua saling berpandangan. Ada rasa optimisme, tetapi juga tanya besar yang menggantung.
“Bagus kalau kita saling menjaga,” kata Asep. “Tapi kadang saya khawatir, Kang. Narasi ‘jaga keamanan’ ini seringkali dipakai untuk menakut-nakuti rakyat. Jangan sampai kita dianggap ancaman di tanah sendiri.”
Ujang menarik napas dalam. “Benar juga. Apalagi sering kali umat Islam yang jadi sasaran stigma. Padahal kita di sini hanya ingin hidup tenang, berdagang, bekerja, dan beribadah.”
Suasana hening sejenak. Mereka terdiam, memikirkan betapa keamanan yang seharusnya menenteramkan, justru kadang menjadi alat untuk menciptakan rasa waswas.
Narasi Ancaman yang Menyesatkan
Malam itu, seorang pemuda bernama Raka ikut nimbrung. Ia baru pulang kuliah dan masih membawa buku. “Aku tadi baca tulisan Prof. Soerjono Soekanto. Katanya, keamanan sosial itu lahir dari partisipasi warga, bukan sekadar pengawasan dari aparat. Kalau yang dibangun justru rasa takut, itu bukan keamanan, tapi jebakan.”
“Betul,” sahut Ujang. “Kapitalisme sekuler memang lihai membangun rasa aman semu. Rakyat dibuat saling curiga. Padahal, ancaman terbesar justru datang dari sistem yang menindas, bukan dari tetangga kita sendiri.”
Suara Religius yang Menyejukkan
Seorang ustaz kampung, Pak Kiai, tiba-tiba datang ke pos ronda. Ia mendengar percakapan itu. Dengan suara lembut, ia mengutip sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang pada pagi hari mendapatkan rasa aman di rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan pokok hari itu, maka seakan-akan dunia telah terkumpul padanya.” (HR. At-Tirmidzi)
“Keamanan itu nikmat besar dari Allah,” lanjut Pak Kiai. “Dan tugas negara lah untuk menjamin nikmat ini bagi rakyatnya. Jangan sampai rakyat dibebani seolah mereka sendiri yang harus menanggung semua. Islam mengajarkan negara wajib hadir.”
Islam Menjamin Rasa Aman
Pak Kiai lalu menambahkan, “Di masa Rasulullah, ada Qais bin Saad yang menjadi kepala keamanan. Tugasnya jelas: melindungi rakyat, menegakkan hukum Allah, bukan menakut-nakuti. Bahkan Nabi bersabda, ‘Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim lainnya.’ (HR. Abu Dawud)
Jadi, keamanan dalam Islam itu nyata, bukan sandiwara. Negara mengatur polisi sebagai penjaga hukum syariat, bukan alat menekan rakyat.”
Raka mengangguk mantap. “Kalau begitu, kita perlu dukung program jaga warga ini, tapi jangan lupa tetap kritis. Jangan sampai program ini hanya jadi perpanjangan tangan sistem sekuler yang menanamkan curiga di antara kita.”
Penutup
Malam semakin larut. Kopi hampir habis, tapi percakapan itu menyalakan kesadaran baru. Bahwa Warga Jaga Warga seharusnya menjadi simbol kebersamaan, bukan alat menciptakan ketakutan. Bahwa rasa aman sejati hanya lahir dari sistem yang benar, yakni sistem yang menjadikan syariat Allah sebagai pijakan.
Ujang menutup dengan suara tegas, “Kalau kita ingin aman, kita harus ingat. Negara bertugas melindungi, rakyat bertugas saling menguatkan. Dan hanya dengan Islam, semua itu bisa benar-benar terwujud.”
Semua terdiam. Malam terasa berbeda. Bukan hanya sebuah obrolan biasa, tapi sebuah kesadaran ideologis: keamanan sejati bukanlah mimpi, melainkan janji Allah jika syariat-Nya ditegakkan.