Oleh: Putri Efhira Farhatunnisa (Pegiat Literasi di Majalengka)
Majalengka // zonakabar.com – Kemiskinan menjadi suatu masalah yang tak kunjung menemukan solusi. Janji-janji pengentasan kemiskinan telah menjadi lagu lama dari mulut-mulut manis pengobral janji. Alih-alih membuat kebijakan yang menyelesaikan masalah secara komprehensif, para pemilik kursi malah sibuk mengutak-atik angka untuk mengecilkan data kemiskinan. Padahal deretan angka tersebut tidak bisa menyembunyikan penderitaan rakyat miskin yang kesusahan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan garis kemiskinan Maret 2025 sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan. Namun, Indef menilai angka ini tidak realistis karena biaya hidup tinggi dan banyaknya PHK. Data BPS menunjukkan kemiskinan nasional turun menjadi 23,85 juta orang—terendah dalam 20 tahun—berkat perbaikan pendapatan petani di desa. Sebaliknya, kemiskinan di kota naik akibat pengangguran terselubung, pekerjaan informal, dan rentannya sektor jasa. Pemerintah diminta memperbarui metode pengukuran agar mencerminkan kondisi riil dan multidimensi (tirto.id, 26/7/2025).
Penduduk dengan pengeluaran di atas Rp 20.305 per hari tidak terkategori sebagai rakyat miskin. Namun, jika kita melihat kondisi saat ini, apa yang bisa didapat dari jumlah tersebut? Mereka yang dikategorikan tidak miskin menurut BPS saja masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, apalagi yang masuk kategori miskin. Apakah dengan pengeluaran sebesar itu sudah dapat dikatakan sejahtera?
Menurut KBBI, sejahtera adalah kondisi aman, sentosa, dan makmur. Apakah ketika pendapatan yang ada hanya cukup untuk mengisi perut—tanpa memikirkan nilai gizi—sudah dapat disebut makmur? Belum lagi pajak di segala sisi yang membuat penderitaan semakin rumit. Pendidikan sulit diakses, lapangan pekerjaan sedikit, harga sembako dan bahan pangan terus naik, ditambah terbatasnya akses kesehatan. Lengkap sudah derita rakyat Nusantara. Negeri yang katanya kaya, namun rakyat jelatanya tak sedikit.
Angka kemiskinan ekstrem hanya turun di atas kertas, tetapi tidak benar-benar menjadi kenyataan. Yang dipedulikan hanya citra ekonomi tanpa memikirkan nasib rakyat. Inilah kondisi yang diniscayakan oleh sistem kapitalisme—membuat kesenjangan kian menganga. Maka, kesejahteraan yang selama ini dijanjikan tak akan pernah terwujud, karena sistem yang diterapkan memang mengarah pada kondisi seperti sekarang.
Faktor Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan yang terjadi hari ini disebabkan oleh banyak faktor.
Pertama, pendidikan yang rendah membuat keterampilan seseorang terbatas sehingga penghasilannya pun tidak tinggi. Hal ini terjadi karena pendidikan tidak bisa diakses oleh semua kalangan. Masalah ekonomi sering kali menjadi alasan. Banyak siswa-siswi yang terpaksa putus sekolah karena keterbatasan biaya. Akhirnya, mimpi hanya bisa dikubur tanpa tahu kapan akan terwujud.
Kedua, kesenjangan pembangunan membuat daerah tertentu jauh tertinggal dari pusat ekonomi. Tidak adanya pemerataan infrastruktur memengaruhi kondisi ekonomi. Minimnya fasilitas di desa atau pelosok membuat lapangan pekerjaan sedikit dengan gaji kecil. Harga barang juga menjadi lebih mahal karena harus didatangkan dari jauh, belum lagi jalanan rusak yang kerap menjadi tantangan.
Ketiga, lapangan kerja formal terbatas sehingga banyak orang bekerja di sektor informal dengan penghasilan tidak pasti. Pemasukan yang tidak tetap, sementara pengeluaran terus ada, membuat kondisi rentan masuk ke dalam kemiskinan. Jaminan kesehatan pun tak ada, apalagi kepastian nasib di hari tua.
Keempat, krisis dan bencana dapat menyebabkan kemiskinan. Contohnya, pada pandemi atau krisis moneter, banyak orang kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Begitu pula jika bencana alam terjadi, infrastruktur berpeluang besar rusak, kerugian pun makin besar, terlebih ketika harta yang dimiliki ikut terdampak.
Kelima, budaya konsumtif dan kurangnya perencanaan keuangan membuat uang cepat habis sehingga sulit menabung atau berinvestasi. Hal ini lekat dengan gaya hidup hedonisme yang diadopsi dari Barat. Banyak generasi muda yang terjebak pada gaya hidup mewah meskipun kondisi ekonomi sulit. Ini terjadi karena keinginan yang mengikuti hawa nafsu.
Kapitalisme sebagai Biang Kemiskinan
Faktor-faktor penyebab kemiskinan tadi tidak akan pernah bisa dihilangkan jika sistem kapitalisme masih diterapkan. Hal-hal tersebut justru diniscayakan oleh sistem rusak ini. Misalnya, rendahnya pendidikan disebabkan hilangnya peran negara dalam meningkatkan kualitas penduduknya. Kualitas manusia akan meningkat ketika ia mendapat pendidikan yang baik, sehingga seharusnya akses pendidikan dipermudah dengan digratiskan. Pendanaannya dapat diambil dari sumber daya alam yang dikelola negara, bukan swasta apalagi asing.
Dalam sistem kapitalisme, negara lebih banyak mengurus data dan mengatur pasar agar tetap bebas, daripada benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyat. Solusi yang diberikan hanya memperbaiki masalah di permukaan, tanpa menyentuh akar persoalan—yaitu sistem ekonomi yang tidak adil dan merugikan rakyat. Menggantungkan harapan kesejahteraan pada sistem ini adalah hal yang sia-sia, karena kesejahteraan hakiki hanya akan menjadi mimpi.
Kesejahteraan dalam Islam
Berbeda dengan sistem Islam yang bertanggung jawab penuh atas kebutuhan dasar rakyat, meliputi pangan, papan, pendidikan, dan keamanan. Kesejahteraan tidak diukur berdasarkan rata-rata, melainkan per individu. Semua individu dalam wilayah Islam dipastikan terpenuhi kebutuhan dasarnya, dan penguasa akan berdosa jika ada yang belum terpenuhi.
Kesejahteraan dalam Islam dihitung dari terpenuhinya kebutuhan setiap individu. Islam memastikan hal tersebut disertai jaminan akses pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Ukurannya bukan pendapatan rata-rata atau persentase kemiskinan. Sebab, orang dengan pendapatan besar tetapi tanggungan banyak tentu sama saja dengan orang berpenghasilan kecil namun untuk diri sendiri.
Jaminan pemenuhan kebutuhan dalam Islam didanai oleh berbagai sumber, salah satunya sumber daya alam (SDA). Kekayaan alam dikelola sepenuhnya oleh negara agar hasilnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, tanpa memikirkan kepentingan pihak lain, swasta, atau asing. Memakmurkan masyarakat adalah prioritas utama dalam Islam.
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis di atas menyatakan bahwa kaum Muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api. Ketiganya tidak boleh dimiliki individu. Imam as-Sarakhsyi dalam al-Mabsûth menjelaskan hadis-hadis tersebut.
Dengan pengaturan kepemilikan umum ini, Islam dapat leluasa memenuhi kebutuhan rakyat. Kemiskinan akan mudah dientaskan karena kebutuhan individu sangat diperhatikan oleh negara. Beban tidak sepenuhnya ditanggung rakyat. Individu Muslim hanya diwajibkan berusaha menjemput rezeki yang telah Allah tetapkan, tanpa memusingkan pendidikan, kesehatan, dan keamanan, karena bahkan kebutuhan dasar pun dijamin.
Begitulah Islam menyelesaikan masalah kemiskinan. Islam mampu menjadi solusi atas setiap permasalahan hidup. Kehidupan ini terlalu berat untuk ditanggung sendiri, sehingga Islam hadir untuk mengondisikan agar setiap individu dapat menjalankan kewajibannya dengan mudah. Mengapa demikian? Karena Islam adalah agama yang kompleks, mengatur setiap aspek kehidupan, bukan hanya perkara ritual. Wallahu a’lam bishshawab.