Jalan Mulus, Menembus Batas Mimpi

Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Majalengka // zonakabar.com – Senja itu, aku berjalan di jalan desa yang penuh lubang. Motor tuaku bergetar hebat setiap kali roda menghantam aspal yang terkelupas. Di sampingku, seorang bapak tua mendorong gerobak penuh sayur. Keringatnya menetes, bercampur debu jalanan.

Bacaan Lainnya

“Aduh, Nak… kalau jalan ini mulus, mungkin dagangan saya bisa sampai lebih cepat ke pasar,” katanya lirih, sambil tersenyum pasrah.

Aku hanya mengangguk. Dalam hatiku, aku merasa pedih. Jalan bukan sekadar aspal dan beton. Jalan adalah urat nadi kehidupan. Ia menghubungkan harapan, mempersingkat langkah, dan membuka peluang rezeki.

Beberapa hari lalu, aku membaca sebuah berita di salah satu media online pada 16 Agustus 2025. Gubernur Jabar, dengan penuh semangat menyampaikan targetnya: tahun 2027, seluruh jalan di Jawa Barat akan mulus. Sebuah janji besar, sebuah mimpi yang menggugah. Visi yang mereka sebut sebagai “Jabar Istimewa”.

Mendengar itu, hatiku sempat bergetar. Bayangan jalan-jalan desa yang mulus, jalan antar kota tanpa lubang, dan akses transportasi yang lancar, membuatku ingin percaya penuh. Namun, di sisi lain, aku juga bertanya dalam hati, mungkinkah semua itu benar-benar terwujud?

Aku teringat obrolanku dengan seorang teman lama, seorang dosen teknik sipil di Bandung. “Kamu tahu, berapa kali pemerintah berjanji soal jalan mulus? Hampir setiap periode ada target baru. Tapi, kenyataannya, banyak jalan cepat rusak sebelum umur teknisnya habis,” katanya sambil menghela napas.

Aku menatapnya serius. “Kenapa bisa begitu?” tanyaku.

“Karena sistem pembangunan kita masih mengikuti pola kapitalisme. Pembangunan diserahkan ke investor, kontraktor, dan swasta. Pemerintah hanya jadi regulator, bukan pengurus sejati. Jalan dibangun, rakyat bayar pajak, tapi kualitasnya sering di bawah harapan. Jalan seharusnya untuk rakyat, tapi kerap jadi ladang untung segelintir pihak.”

Kata-katanya menampar kesadaranku. Ya, inilah wajah pembangunan kita. Indah dalam janji, rapuh dalam kenyataan.

Di tengah rasa resah itu, aku teringat pada sejarah peradaban Islam. Rasulullah saw. dan para khalifah setelah beliau mengajarkan bahwa pemimpin adalah raa’in, pengurus rakyat.

Sayidina Umar bin Khaththab pernah berkata, “Seandainya seekor keledai mati terperosok di jalan Irak, niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.”

Bayangkan, seorang khalifah merasa bertanggung jawab penuh atas keselamatan seekor hewan di jalan umum. Bagaimana dengan kita, manusia yang bergantung pada infrastruktur setiap hari?

Islam meletakkan pembangunan infrastruktur sebagai kewajiban negara, bukan sekadar proyek ekonomi. Jalan, jembatan, dan sarana umum dikategorikan sebagai milik umat. Negara tidak boleh lepas tangan, apalagi menyerahkannya pada swasta untuk mencari keuntungan.

Sore itu, aku kembali bertemu bapak tua penjual sayur. Aku menyampaikan janji pemerintah tentang jalan mulus 2027.

Beliau tersenyum samar. “Ah, Nak… kalau benar terwujud, itu akan jadi hadiah besar bagi rakyat kecil seperti saya. Tapi kalau hanya janji, biarlah Allah yang membalas setiap peluh yang jatuh di jalanan rusak ini.”

Aku tercekat. Kata-katanya sederhana, tapi penuh makna. Aku ingin sekali berkata kepadanya bahwa ada sistem yang benar-benar mampu menjamin itu.

“Pak,” kataku pelan, “dulu, pada masa peradaban Islam, jalan-jalan dibangun bukan hanya untuk kemegahan. Tapi sebagai bentuk kasih sayang negara kepada rakyatnya. Semua dibiayai dari baitulmal, bukan dari hutang atau pajak yang mencekik. Pemimpin mereka menganggap urusan rakyat sebagai amanah, bukan sekadar program.”

Beliau menatapku penuh harap. “Andai itu bisa kembali, Nak… mungkin bukan hanya jalan, tapi seluruh hidup kita akan terasa lebih ringan.”

Penutup

Aku berjalan pulang dengan hati penuh gejolak. Jalan mulus tahun 2027 adalah mimpi indah. Tetapi, mimpi itu hanya akan jadi nyata jika negara benar-benar hadir sebagai pengurus rakyat, bukan hanya sebagai pemberi janji.

Islam mengajarkan bahwa pembangunan infrastruktur bukan sekadar proyek, melainkan amanah. Dengan penerapan Islam secara kaffah, jalan-jalan mulus bukan sekadar target tahunan, tapi konsekuensi dari tanggung jawab negara terhadap rakyat.

Aku yakin, suatu saat nanti, kita tidak hanya berjalan di atas jalan yang mulus. Kita akan berjalan di atas peradaban yang mulia, di mana rakyat benar-benar diurus, bukan sekadar dipajaki.

Karena jalan terbaik bukan hanya dari beton dan aspal. Jalan terbaik adalah jalan menuju ridha Allah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *