Polda Jabar // zonakabar.com – Peringatan Hari Santri senantiasa menarik perhatian publik melalui berbagai kegiatan seremonial seperti upacara, kirab, pembacaan kitab kuning, hingga festival sinema. Dalam peringatan Hari Santri Nasional 2025, Presiden Prabowo Subianto menyoroti kembali makna historis Resolusi Jihad 1945.
Melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Jumat (24/10/2025), Presiden menegaskan bahwa Hari Santri merupakan momentum untuk mengenang perjuangan besar para ulama dan santri dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia juga menyinggung peran penting KH Hasyim Asy’ari yang menggagas Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 sebagai tonggak bersejarah perjuangan bangsa.
Menurut Presiden, semangat jihad yang dikobarkan delapan dekade lalu tidak boleh berhenti pada catatan sejarah, tetapi harus terus hidup dan diterjemahkan dalam konteks kekinian. Nilai perjuangan yang dulu diwujudkan lewat keberanian di medan perang, kini harus diimplementasikan dalam bentuk pengabdian, pendidikan, dan kontribusi nyata bagi pembangunan bangsa.
Tema Hari Santri tahun ini, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia,” mencerminkan tekad para santri untuk berperan aktif dalam kemajuan bangsa. Prabowo menilai santri memiliki posisi strategis sebagai penjaga moral sekaligus pelopor kemajuan yang menguasai ilmu agama dan ilmu dunia.
Problem Seremonial dan Tantangan Santri Masa Kini
Sayangnya, peringatan Hari Santri dari tahun ke tahun masih cenderung bersifat seremonial dan belum sepenuhnya menggambarkan esensi peran santri sebagai fakih fiddin dan agen perubahan sosial. Harapan untuk melahirkan generasi beriman, bertakwa, serta unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi masih menghadapi berbagai hambatan.
Pertama, santri kini sering dijadikan corong bagi agenda moderasi beragama. Dalam beberapa tahun terakhir, wacana moderasi beragama semakin gencar diarahkan ke lembaga pendidikan Islam, termasuk pesantren. Melalui diskusi, seminar, dan program publik lainnya, santri didorong untuk berpikir moderat — dalam arti mengikuti paradigma sekuler dan nilai-nilai Barat seperti demokrasi, pluralisme, kapitalisme, dan hedonisme. Akibatnya, identitas santri sebagai hamba Allah dan pejuang kebangkitan Islam justru teredam.
Semangat Resolusi Jihad yang seharusnya menjadi ruh perjuangan untuk melawan segala bentuk penjajahan kini cenderung menyempit pada makna moral dan ritual semata. Padahal, bentuk penjajahan nonfisik — seperti dominasi pemikiran sekuler-liberal — masih mengakar dan menjadi ancaman serius bagi kemurnian akidah umat Islam. Jika moderasi Islam terus dijadikan arus utama, dikhawatirkan santri kehilangan arah dan jati dirinya sebagai muslim kafah yang tunduk pada aturan Allah semata.
Kedua, masih maraknya tindak kekerasan di lingkungan pesantren juga menjadi persoalan serius. Kasus perundungan hingga kekerasan seksual mencoreng citra pesantren sebagai lembaga pendidikan bernilai luhur. Berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia, terdapat 101 anak menjadi korban dalam delapan kasus kekerasan seksual sepanjang Januari–Agustus 2024, di mana lima kasus terjadi di bawah naungan Kementerian Agama termasuk pesantren. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengaruh sekularisme turut merasuki lembaga pendidikan Islam, hingga pembentukan karakter islami belum sepenuhnya terwujud.
Ketiga, pemberdayaan ekonomi santri melalui program seperti One Pesantren One Product (OPOP) tidak cukup untuk menuntaskan problem kemiskinan yang bersumber dari penerapan sistem kapitalisme. Pelibatan pesantren dalam kegiatan ekonomi seringkali dimaknai sebagai bentuk kemandirian, padahal secara struktural hal ini menandakan lemahnya peran negara dalam menanggung tanggung jawab ekonomi rakyat.
Keterlibatan pesantren dalam program ekonomi semacam itu berpotensi mengalihkan fokus utama pesantren dari fungsi utamanya, yakni mencetak kader ulama dan pejuang Islam. Selain itu, selama sistem kapitalisme masih mendominasi, kegiatan ekonomi berbasis pesantren tidak akan menyentuh akar persoalan ketimpangan dan kesejahteraan.
Karena itu, santri perlu kembali pada jati dirinya yang sejati — sebagai hamba Allah yang taat, pelanjut perjuangan Islam, dan pengemban misi peradaban, bukan sekadar pelaku ekonomi atau penyambung lidah pemikiran moderat sekuler. Santri harus berperan sebagai ulama dan ilmuwan yang menjaga kemuliaan Islam serta membangun peradaban yang berlandaskan syariat.
Pesantren dan Pembentukan Santri Berkepribadian Islam Kafah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, santri memiliki dua makna: seseorang yang mendalami ajaran Islam, dan orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh. Dalam konteks tradisi keilmuan Islam, santri adalah mereka yang menuntut ilmu di pesantren dan mempelajari tsaqafah Islam melalui kitab-kitab klasik.
Sejarah mencatat bahwa pesantren berperan penting sebagai lembaga pendidikan yang mencetak ulama fakih fiddin, pewaris perjuangan Nabi, serta pembentuk pribadi Islam yang berakhlak dan berilmu. Pesantren diharapkan menjadi pusat lahirnya generasi yang memahami Islam secara menyeluruh, berdakwah, mencerdaskan umat, dan unggul dalam sains serta teknologi.
Model pendidikan pesantren memiliki akar kuat sejak masa Nabi Muhammad saw., ketika rumah Arqam bin Abi al-Arqam — yang dikenal sebagai Darul Arqam — menjadi tempat pembinaan umat Islam pertama. Di sanalah Nabi mendidik para sahabat agar memahami dan mengamalkan Islam secara kaffah. Dari lingkungan inilah lahir generasi sahabat yang teguh memperjuangkan Islam di berbagai medan kehidupan.
Karena itu, visi luhur pesantren dan identitas santri hendaknya tidak disusupi dengan pandangan moderasi beragama yang berorientasi pada nilai-nilai Barat. Islam menuntut generasi yang berkepribadian Islam kafah, bukan moderat atau sekuler.
Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga eksistensi pesantren melalui penerapan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam, pemberian fasilitas yang memadai, gaji guru yang layak, serta pembebasan biaya pendidikan bagi santri.
Dengan dukungan sistem pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai Islam, pesantren akan tetap menjadi benteng peradaban dan melahirkan santri berkepribadian Islam kafah — generasi ulama dan ilmuwan yang kelak memimpin kebangkitan peradaban Islam yang gemilang.





