Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Majalengka // zonakabar.com – Langit sore itu tampak muram. Awan hitam menggantung di atas bukit, seakan menyimpan rahasia duka. Di sebuah kampung di kaki Gunung Gede, seorang ibu memeluk erat anaknya. Air mata jatuh perlahan, bercampur dengan gemuruh hujan yang mengguyur deras.
“Bu… rumah kita kebanjiran lagi, ya?” suara lirih si kecil memecah sunyi.
Sang ibu mengangguk, mencoba tersenyum, meski hatinya remuk. “Iya, Nak. Tapi jangan takut. Allah selalu bersama kita.”
Air yang meluap dari sungai telah menenggelamkan sawah. Pohon-pohon yang dulu berdiri kokoh kini tercerabut, hanyut terbawa arus. Seorang bapak berlari kecil membawa beberapa berkas. Di tangannya tergenggam lembar-lembar penting, satu-satunya harta yang bisa ia selamatkan.
“Pak… sampai kapan kita harus begini?” tanya sang ibu dengan suara bergetar.
Sang bapak terdiam. Matanya menatap ke arah bukit yang gundul akibat penebangan. Ia tahu, bukan hujan yang salah. Bukan pula tanah yang durhaka. Ada tangan-tangan serakah yang merampas keseimbangan alam.
Data resmi mencatat, sepanjang tahun ini, lebih dari seribu bencana telah terjadi di Jawa Barat. Banjir, longsor, puting beliung, dan gempa datang silih berganti. Masyarakat bersama Basarnas bersiap menjadi penyelamat ketika bencana melanda. Ajakan itu baik, namun hati kecil berbisik: Apakah rakyat harus terus menjadi penyelamat bagi dirinya sendiri, sementara negara seakan kalah oleh kuasa modal?
Seorang pemuda, relawan kebencanaan, duduk termenung di posko. Ia teringat pesan almarhum ayahnya yang dulu seorang guru:
“Mitigasi itu soal mencegah sejak awal, bukan hanya soal menyelamatkan setelah bencana, Nak.. Jangan biarkan hutan gundul, jangan biarkan tanah diperas investor.”
Kata-kata itu menancap dalam. Ia sadar, rakyat selalu menanggung akibat dari kebijakan yang berpihak pada kepentingan modal.
Negara yang Seharusnya Menjaga
Malam itu, di tenda pengungsian, terdengar percakapan lirih.
“Bu, kenapa rumah kita selalu hanyut? Kenapa pemerintah tidak bisa melindungi kita?” tanya seorang anak laki-laki.
Sang ibu menarik napas panjang. “Nak, pemerintah itu seharusnya seperti orang tua. Mereka wajib melindungi kita. Tapi terkadang, mereka sibuk melayani orang kaya yang menguasai hutan dan tambang.”
Dialog polos itu seperti tamparan. Sejatinya, negara adalah pelindung rakyat, bukan pelayan investor. Jika kebijakan selalu tunduk pada modal, mitigasi hanya jadi wacana, dan rakyat terus menjadi korban.
Jalan yang Allah Tunjukkan
Di balik duka, cahaya Islam hadir sebagai pelita. Islam memandang manusia sebagai khalifah di bumi (QS Al-Baqarah: 30). Tugasnya menjaga, bukan merusak. Islam melarang segala bentuk kerusakan (QS Ar-Rum: 41). Islam menempatkan penjagaan jiwa sebagai prioritas (maqasid syariah).
Seorang ustaz di tenda pengungsian menenangkan para pengungsi.
“Saudaraku, Allah berfirman: ‘Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.’ (QS Al-A’raf: 56). Bencana ini menjadi peringatan. Bukan untuk membuat kita putus asa, tetapi untuk kembali pada aturan Allah.”
Mata para pengungsi berkaca-kaca. Mereka merasakan keteduhan dari kalimat itu. Seorang relawan bercerita tentang sejarah peradaban Islam.
“Dulu di Turki, masjid dibangun dengan konstruksi yang tahan gempa dengan rancangan dari arsitek Sinan. Masjid itu tetap kokoh meski gempa besar mengguncang. Itu bukti, Islam tidak hanya bicara doa, tetapi juga ikhtiar nyata melalui ilmu dan teknologi.”
Seorang kakek mengangguk. “Begitulah seharusnya negara, Nak. Ia tidak menyerahkan tanah dan hutan kepada investor. Ia gunakan untuk melindungi rakyat. Kalau itu dilakukan, kita tidak akan sesering ini jadi korban.”
Penutup
Langit memang bisa menangis, tetapi manusia tidak boleh pasrah pada air mata bencana. Negara wajib hadir dengan penuh tanggung jawab. Islam menawarkan jalan yang menyeluruh: menjaga alam, melindungi jiwa, melawan kerakusan modal, serta membangun sistem tangguh yang berpihak pada rakyat.
Suara ustaz itu kembali terngiang di telinga para pengungsi:
“Saudaraku, Islam bukan hanya agama, ia jalan keselamatan. Ia menyelamatkan kita dari bencana dunia, dan lebih dari itu, dari bencana akhirat.”
Hening sejenak. Lalu seorang anak kecil berbisik pada ibunya:
“Bu… kalau kita kembali pada aturan Allah, apakah rumah kita tidak akan hanyut lagi?”
Sang ibu tersenyum. “Iya, Nak. Jika kita hidup dengan sistem Islam yang kafah, kita akan selalu punya tempat yang aman dan kokoh. Bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.”