Oleh Thaifah Zhahirah (Pendidik dan Pegiat Literasi)
Majalengka // zonakabar.com – Hingga saat ini rakyat Palestina masih terus berada dalam penderitaan. Berbagai serangan dan blokade kian menambah kesulitan. Zionis tidak pernah berniat untuk berhenti hingga ambisi mereka bisa terpenuhi. Tak pandang bulu, semua menjadi sasaran. Mereka tak kenal waktu, tak kenal usia, mulai dari bayi, balita, bahkan lansia dan kaum wanita, semua menjadi korban.
Hari Idul Adha yang sejatinya menjadi momen untuk berbahagia, justru harus diwarnai dengan serangan udara yang dilancarkan ke wilayah Gaza. Saat itu, tepatnya 14 Juni 2025 setidaknya ada 17 warga sipil yang meregang nyawa bahkan diantaranya adalah anak-anak dan kaum wanita. Fakta yang lebih memilukan adalah tragedi itu terjadi justru saat warga tengan menjalankan ibadah (Beritasatu.com, 14/6/2025).
Peristiwa itu adalah langkah lanjutan setelah sebelumnya (13/6/2025), akses warga ke pusat distribusi bantuan kemanusiaan di Gaza ditutup oleh Zionis. Tindakan ini jelas memperparah krisis di Palestina. Mereka tidak hanya harus bersiap dengan serangan rudal dan intimidasi fisik, melainkan juga harus menahan serangan kelaparan yang tidak kalah dari senja yang mampu membunuh kehidupan mereka (Beritasatu.com, 13/6/2025).
Fakta-fakta tersebut menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Palestina bukanlah perang, melainkan genosida yang kejam. Namun mirisnya, semua keadaan itu tidak membuat para penguasa dan aktivis HAM yang selalu menyuarakan hak asasi manusia untuk bersuara lantang. Begitu pun para penguasa muslim yang tidak menunjukkan langkah konkret. Hanya sekadar kecaman baik dalam konferensi maupun diplomasi, tanpa mengirimkan tentara yang akan membela. Padahal asalkan hati nurani masih ada, maka tidak akan pernah bisa rela dengan semua kejahatan Zionis di sana.
Diamnya penguasa dan masih banyaknya pihak yang tidak peduli, bukanlah hal yang terjadi secara alami. Ini adalah hasil dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang diusung olah dunia. Hanya ada satu hal yang tinggi dalam pandangan sistem ini, yaitu materi. Sehingga, hilangnya nyawa jauh lebih ringan dari dikorbankannya kepentingan. Itulah mengapa banyak penguasa yang hanya bisa diam meski mendengar jeritan pilu anak-anak Palestina yang tidak berdosa.
Belum lagi paham nasionalisme yang sempit, telah menciptakan jarak yang lebar dan jurang yang dalam antara satu dengan lainnya. Mereka tersekat dengan batas wilayah dan disibukkan dengan kepentingan dalam wilayahnya. Mereka lupa bahkan tidak peduli dengan penderitaan Palestina karena menganggap bukan bagian dari urusan mereka, hingga sekalipun umat meneriakkan jihad, tetap tidak akan terwujud karena tidak ada negara yang mau melakukannya.
Sungguh menyedihkan. Padahal jika berkaca dari sejarah, tidak pernah dibiarkan musuh menguasai atas kaum muslim. Dengan jihad sebagai sebuah metode yang sesuai dengan syariat berbagai pembebasan dilakukan. Negara akan memimpin hal ini karena tidak akan bisa dilakukan oleh individu maupun kelompok, melainkan harus negara yang sah. Sebuah model negara yang tidak ada dalam sistem hari ini. Yang ada justru mereka bersekutu dengan penjajah.
Negara yang tercatat dalam sejarah mampu melakukannya hanyalah negara yang menerapkan aturan Islam secara sempurna. Di dalamnya ada tuntunan bagaimana menjalankan pemerintahan dan pengurusan urusan rakyat. Hingga negara benar-benar menjadi benteng pelindung bagi umat. Negara tidak akan membiarkan penjajahan dalam bentuk apapun dan oleh siapapun.
Solusi tuntas atas deraan penderitaan yang seakan tidak ada akhirnya bagi Palestina dan seluruh kaum muslim di dunia hanyalah Islam dalam institusi negara. Negara ini yang akan memobilisasi kekuatan untuk mengusir penjajah hingga ke akarnya. Namun, mewujudkan negara dengan model ini memerlukan kesadaran masyarakat. Maka jangan sampai masyarakat berhenti hanya pada rasa sedih dan iba, melainkan lanjutkan dengan berjuang bersama untuk mewujudkan negara Islam yang akan memuliakan.