Ina Agustiani, S.Pd
(Penikmat Literasi)
Majalengka // zonakabar.com - Tenaga kerja di negeri seribu rempah, hamparan laut, hutan, sawah yang luas memang belum menemukan titik temu kesejahteraan, terlebih banyaknya pekerja ada dunia industrial. Ditengah tren #kaburajadulu, yang masih tersisa hanya sekedar melanjutkan hidup tanpa bisa menambah pundi-pundi pemasukan. Karena tidak ada pilihan, yang ada hanya bertahan….
Data Kementrian Tenaga Kerja menunjukkan tingkat produktivitas tenaga kerja di Indonesia Rp 89,33 juta per tahun atau sekitar Rp 7,44 juta per bulan. Dan Jakarta adalah daerah dengan produktivitas tenaga kerja paling tinggi se-Indonesia dengan Rp 421,1 juta kemudian Kalimantan Timur Rp 288,8 juta/tahun. Sementara pekerja di Jawa Barat tercatat produktivitas yang rendah meskipun wilayahnya memiliki banyak pabrik.
Standar tingkat produktivitas tenaga kerja adalah rasio produk berupa barang dan jasa dengan tenaga kerja yang digunakan, individu maupun kelompok dalam waktu tertentu dan kontribusinya dalam pembentukan nilai tambah suatu produk dalam kegiatan ekonominya. Dan Jawa Barat masuk ke dalam 10 besar terendah, peringkat 24 dari 38 provinsi dengan angka Rp 71,76 juta/tahun.
Jika melihat realitanya, Jabar merupakan salah satu pusat industri dan bisnis, terdapat ratusan pabrik mulai dari Karawang dan Cikarang, perusahaan seperti Astra, Yamaha, Toyota, Honda dan Sharp ada disini. UMR tertinggi pun ada di Jabar, meliputi Kota Bekasi (Rp5.690.000), Kab. Karawang (Rp5.599.000), Kab. Bekasi (Rp5.558.000).
Jabar punya tantangan besar, karena Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencerminkan perekonomian di suatu wilayah. TPT kecil berarti ekonomi berkembang baik. TPT Jabar mengalami penurunan sejak 4 tahun terkahir, karena covid dan gelombang PHK besar-besaran. Secara keseluruhan TPT Jabar cukup tinggi, padahal lulusan SMK tinggi di 12,7%, tentu tidak sejalan dengan tujuan banyaknya pendirian SMK yang fokusnya lulusan punya kemampuan dan keterampilan untuk bekerja. Dan TPT ini didominasi oleh laki-laki serta di wilayah perkotaan. Ketergantungan pada sektor manufaktur membuat pekerja Jabar harus lebih beradaptasi terhadap perkembangan zaman, dan ini PR besar untuk angkatan kerja lokal.
Polemik Tahunan
Di sistem saat ini produktivitas seorang pekerja dinilai berdasarkan nilai ekonomi semata yang tujuan untuk mendapat uang sebanyak-banyaknya. Untuk mencapai produktivitas ada beberapa faktor yaitu pendidikan, upah, dan teknologi yang dimana pendidikan membantu tenaga kerja dalam pengembangan keterampilan diperlukan untuk kemajuan ekonomi dan kesejahteraan.
Upah dikatakan layak untuk menciptakan jiwa kompetisi sehat di dunia kerja karena didalamnya ada motivasi, efisiensi dan kesejahteraan pekerja. Sementara teknologi disediakannya alat yang memungkinkan pekerja mengerjakannya lebih cepat. Jakarta punya industri kreatif, Kalimantan Timur punya minyak gas dan batu bara. Jadi dikatakan produktivitas tinggi karena tenaga kerja relatif kecil, nilai ekonomi tinggi. Jadi begitulah penggambarannya bagaimana menempatkan pekerja yang sedikit jumlahnya dengan nilai produksi sebesar-besarnya, pantas saja gelombang PHK terjadi dimana-mana.
Pembahasan kenaikan upah minimun (UPM) 2025 masih berjalan dimana buruh dan pengusaha belum mencapai kesepakatan. Ini karena Keputusan MK yang mengabulkan sebagian besar permohonan uji materi UU 6/2023 tentang Perppu 2/2022 mengenai UU Cipta Kerja, termasuk didalamnya pasal mengenai upah. Menurut pakar hukum ketenagakerjaan Nabiyla Risfa Izzati pengupahan ini menambahkan 3 komponen utama, yakni Komponen Hidup Layak (KHL), Dewan Pengupahan dan Upah Minimum Sektoral (UMS). Semua perhitungan dilakukan dan ditetapkan oleh kepala daerah sampai tingkat kabupaten/kota atas saran Dewan Pengupahan.
Di satu sisi pekerja mendapat upah layak yang tidak seberapa tapi sedikit membantu pengeluaran, sisi lain perusahaan berat hati menaikan upah karena risiko bagi bisnis, jika dinaikkan upah, terjadi PHK solusinya. Itulah dalam kapitalisme, pekerja adalah komponen produksi yang harus diminalkan pengeluarannya demi ongkos produksi agar untung lebih besar. Perusahaan punya kuasa menentukan kebijakan perekrutan, menentukan PHK berdasarkan hitungan bisnis dan keuntungan, bukan kesejahteraan pekerja.
Yang lebih sedih KHL ditetapkan berdasarkan standar kebutuhan hidup untuk satu orang dalam satu bulan, terbanyang seorang kepala rumah tangga dengan jumlah anak banyak. Pantas saja hidup kita itu hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidup. Padahal harusnya upah itu berbeda-beda sesuai jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu, tempat, profesional/mahirnya, tidak ada kaitannya dengan standar hidup minimum masyarakat.
Upah dalam Mekanisme Islam
Ijarah atau pengupahan antara pekerja dan pengusaha diatur oleh syariat. Dalam kitab An-Nizham al-iqtishadiy fiil Islam (Sistem Ekonomi Islam) karangan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, besaran upah ditetapkan jenis, waktu dan akad kerja berdasarkan keridaan kedua belah pihak, tidak boleh ada yang dipaksa atau dirugikan. Transaksi ijarah seorang pekerja (ajir) ditakar berdasarkan jasanya, sedangkan besarnya tenaga bukan standar upah. Jika begitu upah pemecah batu atau tukang bangunan lebih besar dibanding dengan upah insinyur. Oleh karena itu upah adalah kompensasi jasa, bukan jerih payah (tenaga).
Prinsip pengupahan atas asas keadilan dan kesejahteraan. Nabi ﷺ bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.”(HR Ad-Daruquthni) (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam hlm. 178). Tidak boleh menundanya, karena itu bentuk kezaliman. Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).
Jika ada perselisihan terkait upah, maka diserahkan pada pakar (khubara’) untuk menentukan yang sepadan, jika masih tidak bisa juga oleh negara yang memilih pakar untuk mengikuti putusan. Pihak pekerja dan perusahaan adalah mitra sepadan yang statusnya sama, posisi pekerja benar-benar dihargai, tidak seperti sekarang, kasta pekerja lebih rendah, jika pekerja berulah atau minta gaji sepadan maka solusinya pekerja yang di cutt dari tempat bekerja, berbeda dengan solusi Islam yang menempuh jalan ikhtiar sampai maksimal jika ada perseteruan.
Untuk standar kehidupan layak, Islam tidak menilai dari perhitungan atau pendapatan per kapita karena itu bukan penggambaran nyata kehidupan. Melainkan memastikan setiap individu sejahtera, distribusi kekayaan merata, adil dan menyeluruh. Negara bertanggungjawab memastikan sitem pengupahan berjalan sesuai akad. Jika pekerja sudah mendapat upah tetapi masih kekurangan dalam mendapat kebutuhan pokoknya, terkategori fakir, maka negara akan memberikan zakat yang dikumpulkan dari para muzaki serta santunan.
Serta memfasilitasi agar para pekerja mendapat keterampilan yang dibutuhkan, wawasan luas mengenai pekerjaan yang diinginkan dengan sistem pendidikan yang berkualitas dan gratis, sehingga badan riset bisa berjalan dengan stabil demi peradaban. Itulah luar biasanya Islam memikirkan dari mulai detil setiap individu hingga keumuman masyarakat. Tidak ada lagi drama upah minimum yang ada negara memberikan maksimum demi kesejahteraan. Wallahu A’lam.