Kisah Remaja, Pinjol, dan Judol

Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Majalengka // zonakabar.com – “Bu, boleh saya pulang dulu?” suara lirih itu datang dari seorang siswa SMP di Kulon Progo. Namanya Rafi, wajahnya pucat, matanya sembab.
Guru yang menatapnya tak tahu, bahwa di balik seragam abu-abu putih itu, Rafi sedang dikejar rentenir digital. Ia berutang pada pinjaman online karena kalah judi di game ponsel.

Bacaan Lainnya

Selama sebulan, Rafi bolos sekolah. Ia bukan malas, tapi takut. Takut ditagih, takut dimarahi, dan lebih dari itu, takut kehilangan masa depannya. Kasus Rafi bukan satu-satunya.

Ketika Dunia Maya Menelan Dunia Nyata

Rafi bukan kecanduan rokok atau balapan liar. Ia kecanduan angka digital yang menjanjikan kemenangan.
“Sekali menang, rasanya seperti juara dunia, Bu. Tapi setelah kalah, semuanya hilang,” ucapnya saat akhirnya berani bercerita.

Ia mengira bisa menutup kekalahan dengan pinjaman kecil. Tapi dari pinjaman pertama lahir pinjaman kedua. Bunga berbunga, utang menumpuk.
Sementara di layar ponselnya, iklan game dan link “hadiah cepat” terus menari.

Aktivis Muslimah, Iffah Ainur Rochmah, menyebut fenomena ini sebagai perpaduan kehancuran antara pinjol dan judol.
“Ketika uang judi habis, orang akan lari ke pinjol. Dari situ, kerusakan berikutnya pasti datang,” ujarnya (18 Juli 2024).
Ia menegaskan, “Peradaban hari ini tak jauh beda dari zaman jahiliah, karena Islam ditinggalkan.”

Rafi hanyalah satu wajah dari ratusan ribu siswa lain yang terjerat di ruang maya.
PPATK bahkan mencatat, pada kuartal pertama 2025 saja, ada lebih dari 1 juta pemain judi online di Indonesia. Situs-situs judol kini tak lagi tersembunyi di sudut gelap internet, tapi merangsek masuk ke aplikasi pendidikan dan hiburan anak.

Sayangnya, negara tampak gamang. Pinjol dilegalkan demi “memudahkan akses ekonomi”, sementara situs judi sekadar diblokir. Padahal pemblokiran mudah ditembus dengan VPN. Ironisnya, ada oknum pejabat Kominfo yang justru melindungi situs-situs judi demi uang. Sistem ini tidak benar-benar melindungi rakyat. Ia hanya menambal luka dengan kebijakan yang retak.

Kapitalisme: Akar Luka yang Tak Sembuh

Semuanya bermuara pada sistem kapitalisme yang menilai segalanya dari untung dan rugi. Anak seperti Rafi tumbuh dalam budaya yang mengajarkan: “Yang penting hasil, bukan cara.”
Sementara pendidikan yang seharusnya membentuk karakter, justru mengarahkan murid mengejar angka dan ranking, bukan makna hidup.

Negara pun lebih berperan sebagai regulator pasar, bukan pelindung moral bangsa.
Kapitalisme menjadikan manusia budak uang.
Ia mencetak generasi yang haus cepat kaya, tapi kering makna dan iman.
Inilah buah pahit kapitalisme, tampak indah di luar, tapi mematikan di dalam.

Dialog di Ruang Guru

“Bu, kenapa sih, kok mereka bisa sampai seperti itu?” tanya seorang guru muda kepada rekan seniornya sambil menatap layar berita.
“Karena mereka kehilangan arah,” jawab guru senior dengan mata sendu.
“Kita ajari berhitung, tapi lupa mengajarkan takut pada Allah. Kita bicarakan sukses, tapi jarang bicara selamat.”

Keduanya terdiam. Di luar ruang guru, anak-anak berlarian membawa ponsel. Ada yang tertawa, ada yang diam menatap layar.
Tak ada yang tahu, siapa yang sedang berjuang melawan kecanduan di balik layar itu.

Islam: Cahaya di Tengah Gelap

Islam hadir bukan hanya untuk menegur, tapi untuk menyelamatkan. Allah Swt. berfirman, “Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 275)

“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah [5]: 90)

Islam menegaskan bahwa negara wajib menutup seluruh akses judi dan riba, serta membina rakyat agar memahami keharamannya. Sistem pendidikan harus berakar pada akidah Islam, agar anak-anak punya arah dalam hidup, bukan sekadar nilai di rapor.

Dalam sistem Islam, negara akan menutup semua celah transaksi ribawi dan perjudian. Negara akan menghapus riba, menata kembali mekanisme utang-piutang yang adil, dan mengawasi teknologi agar tidak digunakan untuk maksiat.

Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Negara dalam Islam bukan hanya pembuat aturan, tapi pelindung jiwa. Ia mencegah sebelum rakyat terluka. Khalifah akan menindak keras siapa pun yang terlibat pinjol dan judol, serta mendidik generasi agar takut pada dosa, bukan sekadar pada hukuman.

Rafi kini mulai kembali ke sekolah. Ia berhenti main game, menghapus semua aplikasi pinjol.

Suatu siang, ia berkata pada gurunya, “Bu, saya mau jadi orang baik. Saya nggak mau lagi nyakitin Ibu saya.”
Guru itu menatapnya, menepuk bahunya, lalu berbisik, “Nak, kalau kau ingin benar-benar bebas, belajarlah takut pada Allah, bukan pada rentenir.”

Kisah Rafi adalah panggilan bagi kita semua. Negara harus hadir, bukan hanya lewat hukum, tapi lewat sistem yang benar. Sistem yang menanamkan iman, menutup jalan haram, dan menumbuhkan harapan. Hanya Islam kaffah yang mampu menuntun generasi dari jerat digital menuju cahaya kehidupan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *