Oleh: Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Majalengka // zonakabar.com – Pagi itu, Bu Rina, seorang ibu rumah tangga di Bandung, duduk gelisah di depan layar ponselnya. Matanya menatap layar laman SPMB Jabar yang tengah menampilkan pengumuman sementara penerimaan siswa baru. Anak sulungnya, Dimas, baru saja lulus SMP dan berharap bisa diterima di salah satu SMA favorit di kota itu.
Namun, kabar burung di antara tetangga membuat hati Bu Rina semakin gusar. Ada yang bilang kalau ada “jalur belakang” untuk bisa masuk sekolah favorit, asal bersedia membayar sejumlah uang kepada oknum tertentu. Isu ini bukan hal baru. Tiap tahun, cerita serupa selalu muncul ketika musim pendaftaran tiba. Bu Rina hanya bisa menghela napas panjang.
“Apa harus bayar juga agar Dimas bisa sekolah bagus?” pikirnya sedih.
Di tempat lain, pemerintah kota sedang sibuk menyelidiki dugaan praktik jual-beli kursi ini. Wali Kota Bandung sendiri telah menyatakan komitmennya untuk menindak tegas siapa pun yang terbukti bermain curang. Sementara itu, Gubernur Jawa Barat juga sudah mewanti-wanti agar tidak ada siswa titipan atau permainan kotor dalam penerimaan ini. Semua siswa harus diperlakukan adil sesuai aturan.
Bu Rina tahu, pemerintah sedang berusaha memperbaiki sistem ini. Tapi mengapa masalah ini selalu terulang setiap tahun? Mengapa masih ada sekolah yang disebut “favorit” padahal katanya semua sekolah setara? Mengapa fasilitas dan mutu pendidikan tidak tersebar merata, sehingga orang tua merasa harus berjuang lebih keras, bahkan dengan cara yang keliru, demi masa depan anaknya?
Di warung dekat rumahnya, obrolan ibu-ibu makin ramai. Ada yang mengeluh soal sistem domisili yang membuat anaknya harus sekolah jauh dari rumah. Ada juga yang kecewa karena merasa sekolah di sekitar rumah kurang layak. Semua merasa bingung, takut anaknya kalah bersaing jika tidak bisa masuk sekolah “unggulan”.
Padahal, dalam Islam, pendidikan adalah hak setiap warga, tanpa pengecualian. Rasulullah Saw. mengajarkan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Pada masa peradaban Islam, negara menyediakan pendidikan gratis dan bermutu bagi semua, tanpa melihat latar belakang. Tidak ada sekolah unggulan atau sekolah rakyat. Semua anak berhak atas fasilitas dan guru terbaik di manapun mereka tinggal.
Bu Rina teringat kisah di masa Rasulullah Saw., saat para sahabat belajar di serambi Masjid Nabawi. Siapa pun boleh datang, belajar, dan mengembangkan diri. Tidak ada istilah “sekolah favorit” karena semua tempat belajar dijamin negara. Bahkan di masa Amirul Mukminin Umar bin Khattab, guru-guru digaji negara sangat besar dan dikirim ke berbagai pelosok demi menyebarkan ilmu secara merata.
Andai saja sistem ini diterapkan hari ini, Bu Rina tidak perlu cemas. Ia tak perlu takut Dimas ketinggalan atau tak diterima di sekolah favorit, karena semua sekolah sudah unggul. Tak ada jual beli kursi, tak ada titipan pejabat, tak ada jalur khusus yang merugikan rakyat kecil.
Bu Rina menatap wajah Dimas yang pulang dari masjid dengan ceria. Harapannya sederhana, ingin melihat anaknya belajar di sekolah yang layak, tanpa harus menggadaikan harga diri atau terlibat dalam praktik curang. Ia percaya, perubahan besar butuh waktu. Ia pun yakin, selama semua pihak mau memperbaiki niat dan sistem, masa depan pendidikan bisa lebih cerah.