Ketika Bullying Berujung Tragedi: Kita Sedang Gagal Melindungi Generasi

Oleh: Annisa Rahma S.

Majalengka // zonakabar.com – Beberapa kejadian belakangan ini membuat kita benar-benar harus berhenti sejenak dan bertanya: ada apa dengan lingkungan pendidikan kita? Dalam waktu berdekatan, seorang santri di Aceh membakar asrama pesantrennya karena sakit hati akibat dibully. Di Jakarta, seorang siswa SMAN 72 diduga melakukan ledakan di sekolah, lagi-lagi dengan dugaan motif karena sering menjadi korban ejekan temannya. Dua kasus ini memberi pesan yang sama, yaitu bullying tidak lagi berhenti pada luka batin. Ia kini berubah menjadi tindakan berbahaya yang bisa mengancam keselamatan banyak orang.
Bullying Bukan Lagi Kasus Individual
Bullying sudah menjadi masalah di banyak tempat, tidak peduli kota atau desa, sekolah negeri atau pesantren. Ini bukan lagi kesalahan satu atau dua anak, tapi tanda bahwa ada masalah yang lebih besar dalam sistem pendidikan kita.

Bukan hanya diarea tersembunyi saja, akan tetapi, bullying terjadi terang-terangan. Di kelas, dunia maya, bahkan depan gurnya sendiri ia menjadi candaan. Di media sosial, ejekan direkam, disebarkan, dan dianggap lucu. Pada titik ini, kita sedang menghadapi krisis adab, bukan sekadar kenakalan remaja.

Yang lebih mengkhawatirkan, media sosial kini juga menjadi sumber “ide” bagi korban. Anak-anak atau remaja yang merasa tersudut kadang mencari jalan keluar di internet. Sayangnya, yang mereka temukan bukan solusi, tapi contoh tindakan ekstrem yang akhirnya mereka tiru sebagai bentuk pelarian dari sakit hati dan kemarahan.

Akar Masalah: Pendidikan yang Kehilangan Ruh
Jika kita analisis pada sistem pendidikan hari ini, berfokus pada nilai, peringkat, dan prestasi, merupakan hal yang tertanam dalam sistem pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini sistem pendidikan lupa akan pentingnya membentu karakter. Faktanya, remaja diajarkan untuk pintar, tapi tidak dibina untuk punya empati. Mereka dipacu untuk unggul, tapi tidak dididik untuk saling menghargai.
Ketika nilai materi yang terus dikejar tanpa menanamkan nilai moral dan spiritual, hasilnya anak menjadi kehilangan pegangan. Mereka tumbuh dalam lingkungan kompetitif, namun emosinya tidak kuat. Ketika tersakiti, mereka tidak tahu ke mana harus mengadu. Ketika marah, mereka tidak tahu bagaimana mengekspresikannya dengan benar.
Inilah ruang kosong yang membuat bullying subur, dan membuat korban rentan mengambil langkah yang membahayakan.
Pendidikan Menurut Islam: Kembali kepada fitrah manusia itu sendiri
Dalam perspektif Islam, pendidikan bukan hanya memindahkan ilmu dari guru ke murid. Tujuan utamanya adalah membentuk kepribadian yang berlandaskan aqidah dan akhlak. Ilmu tanpa adab hanya akan menciptakan manusia cerdas yang tidak bijak.
Karena itu, pendidikan dalam Islam selalu menekankan pembinaan intensif:
membentuk pola pikir dan pola sikap yang benar
Islam mengajarkan kebenaran, pola pikir dalam islam tentu mengharuskan umatnya memaksimalkan akal untuk menimbang mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga, ketika bertindak atau memutuskan keputusan, tentu akan mengambil yang benar yang mana tidak bertentangan dengan hukum syara (tidak dilarang Allah)
mengajarkan empati dan tanggung jawab
Islam merupakan rahmat untuk seluruh alam, hal ini merupakan kunci dari setiap permasalahan. Artinya, ketika manusia itu tunduk pada aturan Allah, maka iapun akan bertanggungjawab kepada apa yang ia perbuat. Terlebih, ia akan saling membantu, tolong menolong, dan saling menyangi, karena menyadari bahwa apa yang dilakukannya akan Allah balas dengan pahala, baik itu kebaikan di dunia maupun di akhirat.
menanamkan bahwa menyakiti orang lain adalah bentuk kezaliman.
Islam telah memberitahu kita bahwa melakukan kezaliman merupakan suatu sikap yang dimurkai Allah, sehingga sebagai muslim, tidak boleh melakukan hal tersebut. Sebab, manusia tidak akan mampu menahan balasan dari apa-apa yang telah diperbuatnya sedangkan itu merupakan larangan Allah.
Dalam hal ini, adab bukan pelajaran tambahan, tapi fondasi. Ketika adab menjadi pusat kurikulum, bullying tidak punya ruang untuk tumbuh.
Dalam konsep Islam, negara punya peran besar. Negara harus hadir sebagai pelindung generasi, bukan hanya menyediakan sekolah, tetapi memastikan pendidikan benar-benar membentuk manusia yang berakhlak. Pengawasan sosial, lingkungan yang sehat, dan budaya menghormati sesama harus dijaga oleh negara, masyarakat, sekolah, dan keluarga secara bersama-sama.
Apa yang Harus Kita Sadari?
Kasus pembakaran asrama dan ledakan sekolah adalah peringatan keras. Generasi kita sedang terluka. Luka itu tidak selalu terlihat, tapi bisa meledak kapan saja.
Bullying bukan masalah sepele yang bisa selesai dengan skors, permintaan maaf, atau mediasi singkat. Kita perlu perubahan cara pandang:
Sekolah harus jadi tempat aman, bukan arena saling merendahkan.
Guru tidak cukup hanya mengajar, tapi harus memahami kondisi emosional siswa.
Orang tua harus peka, bukan hanya memantau nilai, tapi juga kondisi psikologis anak.
Masyarakat harus berhenti menganggap bullying sebagai “canda”.
Dan yang tidak kalah penting: sistem pendidikan kita harus kembali menempatkan adab sebagai inti pembentukan karakter.
Generasi muda adalah masa depan bangsa. Jika mereka tumbuh dalam luka, maka yang lahir adalah generasi yang membalas sakit dengan sakit. Dua kejadian ekstrem ini bukan akhir, tapi bisa saja awal dari lebih banyak tragedi jika kita tidak segera berbenah.
Sudah waktunya kita berhenti menganggap bullying sebagai hal biasa. Anak-anak kita butuh bimbingan, bukan tekanan. Mereka butuh lingkungan yang membuat mereka tumbuh dengan hati yang tenang, bukan hati yang penuh dendam.
Jika kita ingin menyelamatkan generasi ini, maka sistem islamlah yang bisa mengembalikan kokohnya karakter generasi bangsa ini baik itu di sekolah, di rumah, dan dalam sistem negara. Wallahu ‘alam

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *