Generasi Muda Takut Menikah: Luka Ekonomi Kapitalisme dan Alternatif Sistem Islam

Oleh: Reisyavitani Adelia Rahma

Majalengka // zonakabar.com – Fenomena generasi muda yang lebih takut miskin daripada takut tidak menikah menjadi sinyal kuat bahwa stabilitas ekonomi hari ini semakin menjauh dari jangkauan. Ketakutan membangun keluarga tidak muncul karena hilangnya nilai moral, melainkan akibat struktur ekonomi kapitalis yang membuat biaya hidup tinggi, upah rendah, dan beban hidup dipikul individu. Dalam kondisi seperti ini, menikah dipersepsikan sebagai risiko, bukan anugerah. Namun, apabila sistem ekonomi dan sosial negara diatur sebagaimana konsep Islam, ketakutan tersebut tidak akan tumbuh seperti sekarang.

Bacaan Lainnya

Mengapa Menikah Dianggap Risiko? Pergeseran Nilai dan Tekanan Ekonomi

Generasi muda memasuki era ketika menikah tidak lagi dianggap prioritas. Narasi marriage is scary tumbuh dari kenyataan bahwa biaya hidup dan standar kemapanan semakin memberatkan. Mereka menyaksikan pengalaman generasi sebelumnya—persoalan rumah tangga, konflik ekonomi, dan tingginya angka perceraian—yang semakin memperkuat persepsi bahwa pernikahan hanya layak dilakukan setelah mapan secara finansial.

Tekanan tersebut diperkuat oleh data BPS yang mencatat hampir 400.000 kasus perceraian sepanjang 2024, dan sekitar 100.198 di antaranya disebabkan masalah ekonomi (Badan Pusat Statistik, 2025). Data tersebut menunjukkan bahwa kesulitan finansial bukan isu personal, melainkan struktural.

Di sisi lain, perubahan orientasi generasi muda turut dipengaruhi paparan media sosial yang menghadirkan standar hidup tinggi—rumah mewah, gaya hidup glamor, dan pekerjaan bergaji besar. Dalam ruang sosial seperti ini, menikah tanpa kemapanan dianggap sebagai “bunuh diri”.

Luka Ekonomi Kapitalisme: Sumber Utama Ketakutan Menikah

Fenomena takut miskin sejatinya merupakan konsekuensi logis dari sistem kapitalisme yang gagal menjamin kesejahteraan rakyat.

a. Pasar Kerja Tidak Ramah Generasi Muda

Generasi Z menghadapi pengangguran tinggi dan upah yang stagnan. Tingkat pengangguran terbuka usia 15–24 tahun mencapai 16,89 persen, tertinggi di seluruh kelompok umur (Badan Pusat Statistik, 2025). Sementara itu, rata-rata upah usia 20–24 tahun hanya sekitar Rp2,6 juta, jauh di bawah rerata nasional Rp3,33 juta (BPS, 2025).

Situasi serupa juga terjadi di negara lain. Reuters melaporkan 5 September 2025 bahwa pengangguran di Amerika Serikat mencapai level tertinggi sejak 2021, menunjukkan bahwa ketidakpastian ekonomi bersifat global (Reuters, 2025).

b. Lonjakan Biaya Hidup

Harga hunian, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan dasar naik lebih cepat daripada kenaikan pendapatan. Dalam sistem kapitalisme, negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat, melainkan regulator bagi pengusaha. Akibatnya, banyak anak muda menunda menikah sebagai strategi bertahan hidup.

c. Dampak Krisis Berkepanjangan

Economic scarring—luka ekonomi pascapandemi—membuat peluang kerja dan mobilitas ekonomi semakin kecil. Penelitian Pew Research Center menemukan bahwa anak muda di Amerika Serikat menunda pencapaian milestone hidup, termasuk pernikahan, karena tekanan biaya hidup (Pew Research Center, 2023). Dengan struktur ekonomi seperti ini, wajar jika mereka mengutamakan bertahan hidup daripada membangun keluarga.

Jika Sistem Islam Diterapkan, Fenomena Ini Tidak Akan Terjadi

Islam memandang pernikahan sebagai kebutuhan fitrah sekaligus institusi penting bagi peradaban. Karena itu, Islam menyediakan kerangka ekonomi dan sosial yang memastikan rakyat tidak terbebani hingga takut menikah. Berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam menempatkan negara sebagai penjamin kesejahteraan publik.

a. Negara Menjamin Kebutuhan Dasar

Dalam konsep mas’ûliyah ad-daulah, negara wajib memastikan kebutuhan primer setiap warga (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan) terpenuhi. Beban hidup tidak dipindahkan kepada individu. Ketika kebutuhan dasar dijamin, menikah tidak lagi dianggap risiko finansial.

b. Pengelolaan Kepemilikan Umum

Sumber daya seperti energi, air, pertambangan besar, dan hutan merupakan mîlkiyyah ‘ammah yang tidak boleh dikomersialisasikan. Hasil pengelolaan wajib dikembalikan kepada rakyat melalui layanan murah bahkan gratis.

c. Sistem Upah dan Lapangan Kerja yang Adil

Negara Islam bertanggung jawab membuka lapangan kerja luas dan memastikan upah sesuai nilai kerja serta kebutuhan dasar pekerja. Tidak ada ruang bagi eksploitasi dan monopoli kapitalis.

d. Pendidikan Berbasis Akidah

Pendidikan melahirkan generasi bertakwa, bukan konsumtif atau hedonis. Mereka memahami tujuan hidup dan memandang pernikahan sebagai ibadah, bukan beban sosial.

e. Penguatan Institusi Keluarga

Islam memudahkan proses pernikahan, menolak budaya pesta mewah, dan mengatur peran keluarga secara holistik. Dengan demikian, pernikahan menjadi sumber ketenangan (sakinah), bukan kecemasan.

Kesimpulan

Fenomena generasi muda yang takut menikah merupakan gejala luka struktural kapitalisme: biaya hidup tinggi, upah rendah, dan lemahnya jaminan negara. Ketakutan tersebut sangat rasional dalam sistem yang membiarkan rakyat berjuang sendiri.

Sebaliknya, sistem Islam—yang menurunkan biaya hidup, mengelola sumber daya untuk rakyat, menyediakan lapangan kerja, dan memperkuat institusi keluarga—menjadikan pernikahan sebagai ibadah yang mudah, fitrah yang ringan, serta jalan membangun peradaban. Generasi muda tidak hanya membutuhkan ajakan menikah, tetapi juga sistem yang menjamin mereka layak hidup. Sistem Islam menawarkan jawaban itu.

Referensi
1. Badan Pusat Statistik. 2025. Statistik Perceraian Indonesia 2024.
2. Badan Pusat Statistik. Agustus 2025. Tingkat Pengangguran Terbuka.
3. Badan Pusat Statistik. Agustus 2025. Rata-rata Upah Pekerja.
4. Pew Research Center. 2023. Young Adults in the U.S. Are Reaching Key Life Milestones Later Than in the Past.
5. Reuters. 5 September 2025. “Pengangguran AS Tertinggi Sejak 2021.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar