Gaza Terkepung : Kelaparan Dijadikan Senjata Perang

Oleh: Reisyavitani Adelia Rahma

Majalengka // zonakabar.com – Sejak awal agresi Israel pada Oktober 2023, penderitaan di Jalur Gaza terus meningkat. Data otoritas kesehatan setempat menunjukkan lebih dari 59.000 warga Palestina telah tewas, termasuk sedikitnya 113 orang akibat kelaparan langsung (Republika, 25 Juli 2025). Kelaparan memukul paling keras kelompok rentan, terutama anak-anak. PBB melaporkan ribuan anak meninggal akibat gizi buruk dan penyakit yang terkait dengan kelaparan (CNBC Indonesia, 23 Juli 2025).

Bacaan Lainnya

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa Gaza kini berada di ambang “kelaparan massal” (WHO, 23 Juli 2025). Dua juta penduduk yang terperangkap di wilayah sempit menghadapi ancaman gizi buruk mematikan. UNRWA melaporkan sekitar 6.000 truk bantuan tertahan di perbatasan Mesir dan Yordania akibat larangan masuk Israel (Republika, 25 Juli 2025).

Situasi memburuk setelah Israel memberlakukan blokade penuh pada 2 Maret 2025, yang menghentikan hampir seluruh akses masuk bantuan pangan dan medis. Di lapangan, kebijakan blokade berimbas pada penghancuran bantuan. Laporan menyebutkan Israel telah menghancurkan lebih dari 1.000 truk logistik kemanusiaan di tengah krisis pangan (Sindonews, 1 Agustus 2025). Bahkan ketika bantuan diizinkan masuk, jumlahnya sangat kecil dan distribusinya sering terhenti akibat serangan atau penutupan jalur.

Pernyataan Pejabat Israel yang Memicu Kecaman

Menteri Warisan Budaya Israel, Amichai Eliyahu, dalam wawancara radio menegaskan bahwa Israel tidak seharusnya memberi makan ‘musuhnya’ dan membiarkan dunia mengurus mereka. Ia bahkan mengatakan seluruh Gaza suatu hari akan “menjadi Yahudi” (Republika, 25 Juli 2025). Meski Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan sejumlah diplomat Israel mencoba mengambil jarak dari komentar tersebut, ucapan Eliyahu dinilai mencerminkan sikap keras sebagian elite politik Israel.

Kecaman internasional memang ada, tetapi hasilnya minim. Sebanyak 34 mantan duta besar Uni Eropa menyerukan sanksi dan langkah tegas terhadap Israel, menyatakan bahwa blokade ini melanggar hukum kemanusiaan internasional (Tempo, 29 Juli 2025). Namun, dukungan politik dan militer Amerika Serikat kepada Israel membuat banyak upaya diplomasi kandas di Dewan Keamanan PBB karena veto AS.

Hal ini menegaskan kelemahan PBB dalam menghadapi konflik yang melibatkan sekutu kuat negara-negara besar. Bagi banyak pengamat, retorika kemanusiaan tanpa tindakan nyata hanya memperpanjang penderitaan warga Gaza.

Kelaparan sebagai Bentuk Genosida modern

Banyak warga rela mempertaruhkan nyawa hanya demi mendapatkan sekantong tepung terigu, menggambarkan betapa kelaparan kini menjadi senjata yang mematikan secara perlahan. Selain itu, PBB mencatat 71 persen wilayah Gaza sepenuhnya ditutup bagi penduduk Palestina, membatasi gerak mereka mencari kebutuhan pokok (Antara, 5 Agustus 2025).

Pengepungan yang memutus akses pangan dinilai sebagai bentuk genosida gaya baru. Dengan membiarkan warga sipil kelaparan, penderitaan digunakan sebagai alat untuk melemahkan moral lawan. Israel membenarkan kebijakannya dengan menuduh Hamas dan kelompok bersenjata menimbun bantuan, tetapi fakta menunjukkan korban terbesar adalah penduduk sipil yang tidak terlibat pertempuran (WHO, 23 Juli 2025).

Strategi ini tidak hanya melanggar prinsip hukum humaniter internasional, tetapi juga menandai perubahan wajah perang modern—di mana kelaparan, penyakit, dan penderitaan psikologis dijadikan senjata.

Buah Penerapan Sekularisme-Kapitalisme

Raungan tanah suci yang kian memekak tak lantas membuat para pemimpin Islam turun tangan. Organisasi perdamaian dunia pun tak melakukan langkah nyata selain kecaman belaka. Inilah kondisi yang ditimbulkan dari penerapan sistem sekularisme-kapitalisme. Umat Islam tak benar-benar dilindungi, dan akan terus seperti itu.

Para pemimpin Islam terlalu takut kehilangan kekuasaan dibandingkan pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Bagi kapitalisme, genosida ini menguntungkan dengan adanya kebutuhan senjata yang harus dipenuhi. Tak lupa juga bahwa pihak yang berkuasa hari ini tidak pernah menginginkan kebangkitan Islam terjadi, karena kebangkitan Islam berarti menggulingkan kekuasaan mereka.

Seruan Kebangkitan Umat

Di dunia Islam, sebagian pihak memandang tragedi Gaza sebagai momentum untuk membangkitkan kesadaran kolektif. Mereka berpendapat bahwa penyelesaian masalah Palestina tidak cukup hanya mengandalkan diplomasi atau bantuan kemanusiaan, melainkan memerlukan persatuan politik dan militer umat.

Sejarah menunjukkan Umat Islam pernah menjadi kekuatan global melalui sistem Islam yang mampu melindungi wilayahnya dari agresi luar. Menurut pandangan ini, kelemahan umat saat ini adalah akibat propaganda Barat dan kepemimpinan yang tidak berpihak, sehingga potensi besar umat terbelenggu.

Kelompok dakwah ideologis didorong untuk memimpin kebangkitan ini, menghidupkan kembali semangat perjuangan, memperkuat iman, dan mengikuti metode dakwah Rasulullah ﷺ. Pendekatan ini diyakini dapat membangkitkan keyakinan umat dan mempersiapkan mereka menghadapi tantangan sambil terus mendekatkan diri kepada Allah untuk meraih pertolongan-Nya. Hanya dengan kesatuan, keberanian, dan keimanan yang teguh, penderitaan Gaza dapat diakhiri dan keadilan sejati ditegakkan. Wallahua’lam bishshawab

Referensi:

Republika. 25 Juli 2025. Menteri Israel Tak Peduli Kelaparan di Gaza.
CNBC Indonesia. 23 Juli 2025. Tsunami Kelaparan: Ribuan Anak Gaza Tewas.
Sindonews. 1 Agustus 2025. Israel Hancurkan Bantuan di Tengah Krisis.
Antara. 5 Agustus 2025. Blokade Israel Tutup 71 Persen Gaza.
Tempo. 29 Juli 2025. Mantan Dubes Uni Eropa Desak Sanksi terhadap Israel.
WHO & UNRWA. 23 Juli 2025. Laporan Krisis Pangan di Gaza.

Pos terkait