Diam di Tengah Kebisingan

Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Majalengka // zonakabar.com – “Bu, kenapa aku merasa sendiri padahal teman-temanku ramai di sekitarku?” tanya seorang gadis kecil kepada ibunya sambil menatap layar ponselnya. Ibunya terdiam, menatap wajah anaknya yang murung. Hati sang ibu terguncang. Betapa getirnya mendengar anaknya tumbuh dengan rasa sepi di tengah dunia yang katanya penuh “koneksi”.

Bacaan Lainnya

Fenomena ini bukan sekadar cerita satu anak. Ia gambaran zaman. Riset mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY menyingkap kenyataan itu. Mereka meneliti TikTok, lalu menamai fenomena ini Lonely in the Crowd. Menurut teori hiperrealitas, dunia digital bisa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Layar menipu hati. Emosi yang ditata algoritma perlahan mengikis jiwa.

Di balik riuh notifikasi, tersimpan hati-hati yang kosong. Kita merasa terhubung, padahal terasing. Kita sibuk menatap layar, padahal jauh dari keluarga. Kita tersenyum di dunia maya, padahal hati penuh gelisah.

Pengamat media sosial Pompy Syaiful mengingatkan, medsos bagaikan pisau bermata dua. Ia bisa menguatkan, bisa juga menghancurkan. Banyak remaja menderita depresi, cemas, hingga takut ketinggalan hanya karena konten di layar. Mereka membandingkan dirinya dengan orang lain. Mereka merasa kecil, lalu semakin terpuruk.

Generasi yang Rapuh

Apakah ini sekadar soal literasi digital? Tidak. Akar persoalannya jauh lebih dalam. Kapitalisme telah menjadikan media sosial sebagai mesin uang. Konten bukan lagi ruang berbagi, melainkan jebakan atensi. Remaja diarahkan untuk mengonsumsi, bukan berkarya.

Generasi muda yang seharusnya produktif malah terjebak dalam kesepian, kecemasan, dan rasa tidak berdaya. Mereka kehilangan kepedulian pada problem umat. Mereka lupa potensi besar yang Allah titipkan. Mereka tumbuh rapuh di tengah gemerlap dunia maya.

Jalan Keluar dari Islam

Namun, Islam mengajarkan jalan yang berbeda. Rasulullah saw. mencontohkan interaksi yang nyata, penuh cinta dan empati. Para sahabat tidak pernah dibiarkan larut dalam kesepian. Mereka terikat dalam ukhuwah, saling menolong, dan bersama-sama memikul beban umat.

Allah mengingatkan, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…” (QS. Ali Imran: 103).

Islam memandang manusia bukan sekadar konsumen, melainkan hamba Allah Swt. sekaligus pengemban amanah. Negara dalam Islam akan memastikan media sosial bukan menjadi racun yang mematikan jiwa. Ia akan dikelola untuk dakwah, membangun generasi tangguh, dan memenangkan pertempuran ide di panggung dunia.

Dr. Fika Komara dari IMuNe menegaskan, Sistem Islam kelak akan membangun jaringan dan aplikasi sendiri. Alat buatan umat akan memutus monopoli asing. Semua diarahkan untuk menyeru manusia pada Islam, bukan menjebak mereka dalam kesepian dan kecemasan. (2023).

Menutup Sepi, Menyulam Harapan

“Bu, kalau begitu… apakah aku bisa bahagia tanpa harus terus main medsos?” tanya gadis kecil itu lagi. Sang ibu tersenyum, menggenggam tangan putrinya. “Tentu bisa, Nak. Selama kita kembali kepada Allah, selama kita hidup dengan Islam.”

Sepi di tengah riuh hanya akan berakhir jika kita kembali pada ikatan sejati: ikatan iman. Inilah yang akan melahirkan generasi yang kuat, peduli, dan berdaya. Generasi yang tidak hanyut dalam algoritma, tetapi kokoh bersama Islam.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *