Oleh: Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
zonakabar.com // Langit Subang siang itu kelabu, seolah menyimpan rindu pada matahari yang lama tak menampakkan diri. Hujan turun berulang, menumpahkan air ke sudut-sudut kampung yang tak sempat mengering. Di sebuah rumah kecil, seorang ibu muda duduk di dekat jendela sambil mengipas tubuh anaknya yang menggigil.
“Bu… kenapa kaki aku sakit semua?” tanya anak itu dengan suara lirih.
Sang ibu menarik napas panjang. “Sabar ya, Nak. Kata bidan, kamu kena chikungunya. Lagi banyak sekarang…”
Di televisi kecil di ruang tamu, suara pembawa berita terdengar jernih menembus dinding:
“Menurut Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat, dr. Vini Adiani Dewi, kasus probable chikungunya tahun 2025 mencapai 4.848 kasus, meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang berjumlah 1.271 kasus. Lonjakan terbesar berada di Subang, Bandung, Tasikmalaya, dan Ciamis.” (27 November 2025)
Sang ibu menatap layar itu lama. Ia tidak marah, tetapi semesta seakan mengguncang hatinya untuk bertanya: Mengapa hal ini terus terjadi? Mengapa musim hujan selalu membawa kabar yang sama?
Dialog di Atas Genangan Air
Sore itu, seorang relawan kesehatan datang mengetuk pintu.
“Bagaimana kondisi anaknya, Bu?” tanya pria itu ramah.
“Masih demam. Kata orang puskesmas, nyamuknya makin banyak soalnya banyak genangan,” jawab sang ibu sambil menunjukkan bak belakang rumah yang terisi air hujan.
Relawan itu mengangguk, lalu berkata, “Betul, Bu. Tapi sebenarnya ini masalah yang lebih besar. Genangan air itu hanya gejala. Yang sakit itu bukan hanya tubuh anak ibu, tetapi sistem yang mengelola lingkungan kita.”
Sang ibu terdiam. Relawan itu melanjutkan, “Kita setiap tahun dengar 3M, fogging, dan imbauan. Tapi tanpa perbaikan drainase, pemukiman, sanitasi, dan edukasi yang terstruktur, ya siklusnya kembali sama.”
Ia menatap anak yang masih terbaring. “Yang seperti ini seharusnya bisa dicegah dari awal, Bu.”
Kalimat itu menembus ruang sunyi di rumah kecil tersebut.
Ketika Hujan Menyibak Luka yang Sama
Musim hujan selalu menghadirkan cerita yang berulang. Tahun lalu kita mendengar hal serupa. Dua tahun lalu pun demikian. Dengan atau tanpa pandemi, nyamuk tetap menemukan rumahnya: di selokan yang tidak diperbaiki, di genangan yang tidak diatasi, di gang padat yang tidak tersentuh sanitasi layak.
Kita tentu mengakui pemerintah sudah melakukan berbagai upaya, diantaranya sosialisasi, kampanye, pencegahan, bahkan penanganan langsung. Namun ada celah besar antara imbauan dan penjaminan. Celah yang membuat masyarakat rentan sakit setiap tahun. Sistem ini sering kali terlambat, reaktif, dan tidak menyentuh akar masalah.
Dan pada titik ini, kita perlu berkata jujur bahwa kesehatan rakyat seharusnya bukan opsi, tetapi kewajiban yang tidak boleh ditawar.
Suara Perubahan dari Jantung Peradaban Islam
Relawan yang duduk di ruang tamu itu kemudian berkata pelan, seolah ingin melemparkan harapan yang lebih luas.
“Bu, Islam punya cara berbeda dalam mengurus rakyat. Rasulullah saw. bersabda, ‘Imam (pemimpin) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.’
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, negara wajib menjamin kesehatan sejak akar, bukan setelah wabah menyebar.”
Sang ibu mengangkat wajahnya. “Islam punya cara?”
Relawan itu tersenyum. “Iya, Bu. Negara Islam membangun sistem kesehatan preventif dan kuratif secara menyeluruh. Drainase diperbaiki, sanitasi dijaga, air bersih dijamin, lingkungan dirawat sebagai prioritas negara.”
Ia menambahkan, “Bahkan Nabi mengajarkan protokol wabah sebelum sains modern ada.”
Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika kalian mendengar wabah di suatu negeri, jangan kalian memasukinya. Jika terjadi di tempat kalian berada, jangan kalian keluar darinya.’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Sang ibu menatap luar jendela. Hujan masih turun, tetapi hatinya seperti menemukan cahaya.
Relawan itu kembali bercerita: “Pada masa Umar bin Khattab, negara memperbaiki kanal dan sanitasi kota untuk melindungi penduduk dari penyakit air. Pada masa Harun ar-Rasyid, rumah sakit didirikan dengan layanan gratis, lengkap dengan dokter, apoteker, dan riset ilmiah. Para khalifah memandang kesehatan sebagai amanah, bukan beban.”
Ia menekankan, “Karena dalam Islam, nyawa manusia lebih berharga dari apa pun.”
Sang ibu meneteskan air mata. “Kalau begitu… kenapa kita tidak menerapkannya?”
Relawan itu menjawab lirih, “Karena kita hidup dalam sistem yang berbeda, Bu. Tapi memahami solusi Islam membuat kita sadar bahwa ada cara yang lebih manusiawi, lebih menyeluruh, dan lebih menghargai kehidupan.”
Penutup: Di Balik Luka, Ada Harapan yang Menyala
Hari mulai gelap. Anak itu akhirnya tertidur dengan napas lebih stabil. Sang ibu menatapnya dengan mata yang masih sembap, namun kini terselip harapan.
Ia berkata, “Saya hanya ingin anak saya tumbuh tanpa takut tiap musim hujan.”
Relawan itu tersenyum hangat. “Kita semua ingin itu, Bu. Dan perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran kecil.”
Di luar sana, hujan jatuh dengan suara lembut. Seakan alam ingin membisikkan pesan
bahwa di balik sayap kecil nyamuk, ada sistem besar yang perlu dibenahi, dan ada cahaya Islam yang menawarkan penyembuhannya, bukan dengan amarah, tetapi dengan kasih, ilmu, dan tanggung jawab.





