Oleh : Ummu Fahhala
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Majalengka // zonakabar.com – Pagi itu, di sebuah desa kecil di Jawa Barat, Bu Siti duduk di beranda rumahnya sambil menimang bayi laki-lakinya yang baru lahir. Senyumnya merekah. Anaknya lahir sehat berkat layanan puskesmas setempat yang kini semakin baik. Program pengampuan kesehatan ibu dan anak (KIA) dari Kementerian Kesehatan telah menjangkau desanya. Bu Siti tak lagi harus menempuh puluhan kilometer ke kota hanya untuk memeriksakan kandungannya.
Di seberang jalan, Pak Jaya—tetangganya—sibuk memikul hasil panen sayuran dari ladangnya. Hasil panennya tahun ini menurun. Harga pupuk mahal, biaya angkut ke pasar pun besar. Pendapatannya pas-pasan.
Sementara di kota, kehidupan berbeda jauh. Mall baru berdiri megah. Apartemen mewah laris dibeli. Ketimpangan terasa nyata. Antara desa dan kota bagai dua dunia yang berbeda.
Kesenjangan yang Tak Kunjung Usai
Ketimpangan ekonomi di Jawa Barat memang masih tinggi. Jarak yang sangat lebar antara si kaya dan si miskin, hal itu ditunjukkan data gini rasio terbaru.
Pakar ekonomi menjelaskan, ini bukan sekadar soal usaha atau kerja keras, tetapi tentang akses dan kesempatan yang tak sama. Wilayah pedalaman sulit terjangkau infrastruktur. Lapangan kerja terbatas.
Sementara itu, di kota-kota besar, akses modal dan informasi terbuka lebar.
Bu Siti bersyukur ada perhatian pemerintah melalui program kesehatan ibu dan anak. Namun, ia tetap cemas. Bagaimana masa depan anaknya? Apakah kelak ia bisa makan cukup, sekolah layak, dan tumbuh tanpa stunting? Sebab, kenyataan di desanya, gizi masih menjadi masalah. Pendapatan keluarga pas-pasan, biaya hidup terus naik. Untuk memenuhi kebutuhan harian, sebagian warga terpaksa berutang ke pinjol atau Bank Emok.
Kapitalisme dan Akar Masalah Kesenjangan
Pak Jaya kerap mendengar berita tentang pertumbuhan ekonomi nasional yang membaik. Namun, ia tak merasakannya. Bagi petani kecil sepertinya, harga hasil bumi tetap murah. Modal usaha sulit didapat. Lapangan kerja untuk anak-anak mudanya nyaris tak ada.
Kapitalisme membuat kehidupan berpihak kepada pemilik modal besar. Yang kuat makin kuat, yang lemah makin tertinggal.
Sistem ini menciptakan ilusi kesejahteraan. Jalan-jalan utama di kota dibangun dengan megah, tapi sebaliknya, di desa terpencil akses jalan justru rusak parah. Pemerataan tinggal janji.
Pak Jaya pun bertanya, adakah sistem yang benar-benar menjamin kesejahteraan semua warga, bukan hanya segelintir orang kaya?
Islam Menawarkan Solusi Hakiki
Bu Siti teringat pengajian di mushala beberapa waktu lalu. Ustaz setempat bercerita tentang bagaimana Islam mengatur urusan rakyat.
Kata Ustaznya, Negara dalam Islam berfungsi sebagai penanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya, bukan sebatas regulator.
Allah Swt. berfirman, “Dan hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya…” (QS. At-Thalaq: 7)
Rasulullah Saw. bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atasnya.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat, meliputi pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Dalam sejarah Islam, Baitul Mal (kas negara) digunakan untuk membiayai semua kebutuhan ini. Umar bin Khattab, ketika menjadi pemimpin, tidak membiarkan rakyatnya kelaparan saat paceklik. Baitul Mal dibuka untuk rakyat.
Saat penyaluran zakat yang dilakukan pada masa Umar bin Abdul Azis tidak didapati fakir miskin di wilayahnya, karena semuanya sudah sejahtera.
Islam menjamin kesejahteraan rakyat, baik secara langsung melalui bantuan negara, maupun tidak langsung dengan membuka lapangan kerja luas bagi laki-laki agar bisa menafkahi keluarganya secara makruf.
Harapan Baru untuk Generasi Masa Depan
Bu Siti tersenyum memandang anaknya. Harapan tetap ada. Program pemerintah hari ini memberi langkah awal yang baik.
Namun, perubahan hakiki menunggu sistem yang mampu mencabut akar kesenjangan. Islam pernah menerapkannya dalam sejarah panjang peradaban manusia.
Pak Jaya pun berharap, kelak desanya tak lagi tertinggal. Anaknya bisa sekolah tanpa beban biaya. Sawahnya menghasilkan panen melimpah tanpa tercekik biaya produksi. Jalan desa mulus terhubung ke kota.
Semua ini bisa terwujud jika kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama. Bukan hanya angka pertumbuhan ekonomi, tetapi pemenuhan kebutuhan dasar semua warga tanpa kecuali.