Bencana Sumatra: Akibat Sistem Kapitalisme

Oleh: Reisyavitani Adelia Rahma

Majalengka // zonakabar.com – Banjir dan longsor baru-baru ini melanda sejumlah wilayah di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh. Dampaknya sangat serius: ratusan korban meninggal, hilang, dan ribuan warga terdampak kehilangan tempat tinggal. Curah hujan ekstrem memang menjadi pemicu, tetapi yang membuat bencana semakin parah adalah menurunnya daya tampung wilayah akibat kerusakan lingkungan yang masif. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga alami telah dibabat untuk kepentingan industri, pertambangan, dan perkebunan skala besar (WWF Indonesia, 2024)¹.

Bacaan Lainnya

Pemerintah, menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, memang belum menetapkan status bencana nasional, namun penanganan telah dilakukan secara setara dengan prosedur nasional sejak hari pertama, dengan keterlibatan Presiden dan seluruh menteri terkait (KompasTV, 2025). Meski demikian, kerugian yang dialami masyarakat tetap sangat besar.

Akar Masalah: Kapitalisme dan Perusakan Alam

Bencana ini bukan sekadar fenomena alam atau ujian semata. Analisis menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi selama bertahun-tahun, dilegitimasi oleh kebijakan negara—seperti pemberian konsesi lahan, izin perusahaan sawit, tambang terbuka, hingga UU Minerba dan UU Cipta Kerja—memperparah risiko bencana (Reuters, 2025). Dalam sistem sekuler demokrasi kapitalistik, penguasa dan pengusaha kerap berkolusi untuk mengeksploitasi sumber daya alam demi keuntungan pribadi.

Akibatnya, masyarakat yang bergantung pada lingkungan alami menanggung risiko, sementara pengusaha dan penguasa menikmati hasilnya. Fenomena ini menegaskan bahwa sistem yang meninggalkan hukum Allah cenderung memunculkan penguasa zalim dan kebijakan yang merusak bumi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
QS. Ar-Rum[30]:41

Perspektif Islam: Perlindungan Lingkungan sebagai Kewajiban

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa kerusakan di bumi adalah akibat ulah manusia sendiri. Islam menekankan tanggung jawab menjaga kelestarian alam sebagai bagian dari keimanan. Negara dalam sistem Islam memiliki mandat dari Allah untuk mengelola seluruh urusan masyarakat, termasuk pengelolaan lingkungan, dengan prinsip keadilan dan keselamatan umat.

Khalifah, sebagai pemegang mandat Allah, wajib memastikan setiap kebijakan tidak merugikan manusia maupun lingkungan. Contohnya, tata ruang wilayah dirancang berdasarkan fungsi alami tanah, daya dukung ekologis, dan kepentingan manusia. Industri, pertambangan, dan pemukiman diatur secara proporsional untuk meminimalisir risiko bencana. Prinsip mencegah kerusakan (dharrar) lebih utama daripada mengobati dampaknya setelah terjadi.

Sistem Islam vs Sistem Kapitalisme dalam Penanganan Bencana

Dalam sistem kapitalisme modern, penanganan bencana biasanya bersifat reaktif. Pemerintah turun tangan setelah bencana terjadi, seperti yang terlihat di Sumatra, meski dengan prosedur nasional (KompasTV, 2025). Pendekatan ini mahal dan tidak selalu efektif karena kerusakan lingkungan sudah terjadi jauh sebelumnya.

Sebaliknya, sistem Islam menekankan pencegahan melalui pengelolaan yang bertanggung jawab. Misalnya, negara siap mengalokasikan dana untuk studi lingkungan dan pencegahan banjir sebelum terjadi bencana. Hutan tidak dibuka sembarangan; izin industri dan tambang diberikan hanya jika dampaknya telah dianalisis dan mitigasinya terjamin. Dengan prinsip ini, risiko longsor dan banjir dapat diminimalkan, serta keselamatan rakyat lebih terjaga (WWF Indonesia, 2024).

Pelajaran bagi Masyarakat dan Negara

Bencana Sumatra menjadi pengingat nyata bahwa perusakan alam adalah bumerang bagi manusia. Sistem yang hanya mengejar keuntungan, seperti kapitalisme, menimbulkan kerusakan jangka panjang dan penderitaan masyarakat. Sebaliknya, sistem Islam yang menegakkan hukum Allah memastikan setiap kebijakan mempertimbangkan kesejahteraan rakyat dan lingkungan.

Sebagai umat Islam, menjaga kelestarian alam bukan pilihan, melainkan amanah. Menyadari pelajaran ini, masyarakat dan pemerintah dapat mengarahkan pembangunan menuju keberlanjutan, keadilan sosial, dan keselamatan ekologis, sesuai prinsip-prinsip syariah.

Referensi
1. WWF Indonesia. 2024. Deforestation and Environmental Risk in Indonesia.
2. KompasTV. 1 Desember 2025. “Mendagri Tito Karnavian: Penanganan Bencana Sumatra Sudah Setara Nasional”.
3. Reuters. 5 September 2025. “Kerusakan Lingkungan dan Dampaknya bagi Masyarakat”.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar