Bencana Karena Cuaca Ekstrim, Benarkah?

Oeh : Hexa Hidayat

Majelengka // zonakabar.com – Kembali terjadi lagi, kali ini bencana banjir bandang yang menerjang meliputi wilayah Sumatera sampai ke Aceh. Korban jiwanya tidak main-main. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga Minggu (30/11/2025) sudah ada 442 orang tewas akibat banjir di Sumatera dan 402 orang dinyatakan hilang.(Kompas.com). Sedangkan di Aceh sendiri empat kampung dinyatakan hilang, dan korban jiwa tercatat mencapai 96 orang dan 75 orang dinyatakan hilang. Kemungkinan korban terus bertambah.

Bacaan Lainnya

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sendiri mencatat sampai November 2025 mencatat hampir 3000 kejadian bencana dengan sekitar 98% adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, cuaca ekstrim dan tanah longsor. Dan banjir di Sumatera ini salah satu bencana terparah di sepanjang tahun 2025.

Kerugian materil mencapai triliyunan rupiah. Hingga sulitnya akses bantuan masuk karena terkendala prasarana yang terputus menjadi sebab terjadinya tindakan kriminal di beberapa wilayah di Sumatera demi bertahan hidup.

Tapi sampai hari ini, Pemerintah belum menetapkan status bencana nasional. Entah mau berapa juta jiwa dan kerugian lagi hingga bisa ditetapkan sebagai status darurat bencana nasional?

Yang menjadi sorotan peristiwa banjir bandang di Sumatera ini adalah banyaknya gelondongan kayu yang terbawa arus hingga menghantam apa saja yang di laluinya. Jumlahnya mencapai ribuan. Bukan jumlah yang sedikit untuk menjadi perhatian salah satu penyebab banjir, karena dalam benak anak-anak pun terlintas banjir ini disebabkan karena adanya penebangan hutan secara liar yang akarnya mampu menampung air menjadi daerah resapan yang bisa menghadang air tumpah ruah ke permukaan.

Banjir bandang di Sumatera dengan membawa ribuan kayu gelondongan menimbulkan tanda tanya besar bahkan ke depannya akan menjadi catatan Pemerintah, sudah benarkah mengambil tindakan mengubah status hukum hutan menjadi non hutan, Area Penggunaan Lain (APL) dalam SK No 579 pada 2014 yang lalu. Contohnya di daerah Batang Toru, Tapanuli, yang status awalnya adalah kawasan hutan menjadi APL. Sehingga dengan berlakunya kebijakan tersebut, membuka celah bagi para banyak investor masuk ke wilayah ekosistem dan mengubah alih fungsi hutan dan lahan.

Data Kementerian ESDM, yang diolah Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) memperlihatkan bahwa, Sumatera telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang minerba. Terdapat sedikitnya 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif denngan total luas 2.458.469 hektare. Artinya jutaan hektare jaringan hutan, kebun rakyat dan lahan basah yang dulunya berfungsi sebagai penyangga air berubah menjadi area galian, infrastruktur tambang dan jalur angkut yang melemahkan kemampuan DAS untuk menahan dan mengalirkan air secara perlahan.

Belum lagi ini ditambah oleh Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) menjadi ruang ekstraksi diperkirakan sekitar 570,36 hektare di dalam kawasan hutan, menggambarkan skala intervensi langsung terhadap penyangga utama DAS.

Penggunaan lahan menjadi faktor dominan pemicu bencana hidrometeorologi karena manusia memodifikasi bentang alam dalam skala besar Daerah Aliran Sungai (DAS). Disisi lain alih fungsi lahan menyumbang 63,15% kerusakan lingkungan pada satuan wilayah DAS, jauh melampaui pengaruh curah hujan yang hanya 36,84%. (Muslimah News, 29/11/2025)

Dari data di atas menunjukkan bahwa curah hujan bukanlah satu-satunya penyebab banjir. Hal ini semakin memperkuat bahwa tata kelola yang buruk menunjukkan kegagalan dalam memberikan keamanan apalagi kesejahteraan bagi rakyat. Hujan hanyalah dijadikan dalih bencana untuk mengaburkan kesalahan Pemerintah terhadap kebijakan yang melonggarkan oligarki menguasai kekayaan alam. Ruang hidup rakyat dikonversikan menjadi deretan tambang dan mega proyek energi.

Sementara rakyat menanggung derita akibat eksplotasi hutan dan lahan. Banjir tidak akan pernah bisa diatasi selama Pemerintah tidak mengembalikan fungsi hutan dan lahan sebagaimana kodratnya. Apabila sistem tata kelola ruang yang menguasai hajat hidup orang banyak masih bersandar kepada sistem kapitalistik sekuler, maka bencana dipastikan akan tetap terjadi lagi dan lagi.

Hutan merupakan kepemilikan umum yang kepengurusannya tidak boleh diserahkan oleh pribadi atau sekelompok orang. Paradigma kepengurusan ini hanya di dapat di dalam Islam. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdulah bin Said, dari Abdullah bin Khirasy bin Khawsyab asy-Syaibani, dari al-‘Awam bin Khawsyab, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah saw bersabda,
اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمنَهُ حَرَامٌ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram.”

Hutan termasuk ke dalam padang rumput, maka haram bila diserahkan kepada para oligarki. Karena alaminya kepengurusan kapitalistik hanya bersandar kepada untung rugi tidak kepada halal haram sehingga kemaslahatan rakyat seringkali terabaikan.

Islam memandang bahwa pemenuhan terhadap hajat hidup rakyat merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan. Maka, tidak mungkin terjadi eksploitasi yang menyebabkan kerugian terhadap rakyat, apalagi sampai menimbulkan bencana yang menyebabkan hilangnya harta dan nyawa.
Bencana yang terjadi di Sumatera tidak bisa dipungkiri karena ulah tangan manusia yang mengubah alih fungsi hutan dan lahan menjadi ruang ekstraksi kapitalistik.

Benarlah firman Allah Swt, “ Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) “. [TQS.Ar-Rum:41}

Allah Swt telah memberikan peringatan dalam Alqur’an, maka hendaklah kita sebagai hamba-hambanya harus kembali kepada aturan dan paradigma yang benar terhadap kepengurusan tata kelola ruang. Ucapan bahwa hujan penyebab bencana bukanlah hal yang bisa dibenarkan karena sama saja ini merupakan bentuk kedzaliman kepada Pencipta. Allah tidak pernah memberikan bencana kecuali ingin memberikan teguran kepada pembangkangan ayat-ayatNya.

Paradigma ini harus kita dapatkan bilamana Islam menjadi jalan hidup dalam mengatasi segala persoalan juga bencana. Wa’alllahu’alam bish shawab

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar