Aceng Syamsul Hadie:Puasa Dalam Perspektif Sosial Politik.

Majalengka // zonakabar.com – Puasa ramadhan merupakan siklus tahunan yang selalu ditunggu-tunggu oleh umat Islam karena sebagai sarana pembentukan diri menjadi insan muttaqin dan mendapat ampunan serta penghapusan dosa yang telah dilakukan sebelumnya, maka bulan puasa merupakan bulan suci penuh berkah dan magfirah. Bisakah pelaksanaan puasa ini menjadi jembatan penghubung hati umat yang sudah berserakan terpecah belah menjadi ikatan yang merajut kembali kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan berbegara, dimana puasa ramadhan sekarang ini dilaksanakan setelah Indonesia menyelesaikan agenda politik yaitu pemilu, dimana masih terasa kental atmosfer politik yang panas dari dampak perhelatan dan pertarungan politik, masih ada sisa rasa kekecewaan dari pihak yang kalah dan rasa kesombongan dari pihak yang menang. Maka penulis akan menelaah secara mendalam tentang esensi puasa dalam perspektif sosial politik.

Menurut Muhammad Abdul Azim az-Zarqani seorang ulama dan cendekiawan Islam dari Mesir menerangkan bahwa dimensi ibadah puasa memiliki beberapa aspek yang sangat penting, dalam bukunya “Al-Fiqh al-Muyassar”, az-Zarqani menjelaskan bahwa puasa memiliki beberapa manfaat yang sangat penting, antara lain; meningkatkan kesadaran spiritual dan moral, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, meningkatkan kesadaran sosial dan empati terhadap orang lain, meningkatkan disiplin diri dan kemampuan untuk mengendalikan diri. Dengan demikian, az-Zarqani menjelaskan bahwa puasa memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks, yang mencakup aspek spiritual, fisik, moral dan sosial politik.

Bacaan Lainnya

Dari penjelasan diatas bahwa puasa memiliki hikmah yang luas dalam perspektif sosial politik, termasuk meningkatkan kesadaran sosial, membangun keadilan sosial, meningkatkan partisipasi politik, membangun toleransi dan keharmonisan, serta meningkatkan kualitas supremasi hukum dalam menegakkan keadilan.

Adapun implementasi dalam sosial politik yang harus diutamakan yaitu agar puasa ramadhan dapat dijadikan medium introspeksi nasional, sebagai sarana pengendalian diri dari semua pihak baik aparatur pemerintah termasuk penegak hukum maupun semua elemen masyarakat.

Artinya dalam kontek moralitas politik secara personal bahwa puasa seharusnya menjadi laboratorium untuk mengendalikan dan menahan diri dari tindakan yang paradoksal dengan fitrah manusia yaitu menahan dan mengendalikan diri dari perilaku hedonis, materialistik, kesombongan, keangkuhan dan sifat arogan.

Sedang secara kolektif kolegial bahwa puasa merupakan medium untuk mengendalikan dan menahan nafsu cinta duniawi yang berlebihan dan paradoksal dari nilai dan prinsip keadilan, seperti membuat kebijakan dan produk hukum yang tidak berpihak kepada masyarakat lemah, bertentangan dengan moralitas publik, dan tidak memperhatikan nilai kesejahteraan masyarakat umum, maka puasa harus bisa menjadi medium
membebaskan manusia dari perbuatan dan tindakan kontraproduktif dengan nilai fitrah kemanusiaan, seperti terjadinya dominasi struktur yang menindas, diskriminasi, hegemoni, tirani, persekusi, intimidasi dan kriminalisasi.

Puasa dan politik memiliki korelasi filosofis yang sama dimana output puasa adalah untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan yang melahirkan sifat akhlak yang terpuji yaitu kejujuran, ketulusan, rendah hati dan saling peduli sehingga memiliki perilaku yang santun untuk meningkatkan hubungan sosial yang harmonis, begitu juga dengan politik, ouput-nya adalah untuk melahirkan keadilan dan kesejahteraan manusia yang dapat melahirkan sikap yang jujur, amanah, toleran, dan saling peduli sehingga menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera, maka jadilah puasa dan politik adalah satu jalan menuju kedamaian hidup manusia.(*)

Penulis,
Dosen dan Pemerhati Medsos.

Pos terkait