Kemiskinan dan Pengangguran: Sebuah Tinjauan Kritis

Oleh Yanyan Supiyanti, A.Md.
Pendidik Generasi

Majalengka // zonakabar.com – Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah mengembangkan aplikasi digital sebagai salah satu upaya menanggulangi kemiskinan, yang saat ini masih menjadi persoalan serius, terutama di wilayah perkotaan. Data menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di daerah perkotaan meningkat dari 6,65 persen pada September 2024 menjadi 6,76 persen pada Maret 2025. Sebaliknya, angka kemiskinan di pedesaan justru mengalami penurunan dari 8,85 persen menjadi 8,15 persen pada periode yang sama.

Bacaan Lainnya

Namun, permasalahan lain muncul dari sisi ketenagakerjaan. Meskipun persentase Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurun, jumlah pengangguran di Jawa Barat justru bertambah, dari 1,77 juta menjadi 1,81 juta orang pada Februari 2025, dengan TPT tercatat sebesar 6,74 persen.

Menelusuri Akar Masalah

Langkah digitalisasi pelayanan publik memang dijalankan untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran. Namun, persoalan ini lebih dalam dari sekadar teknis; akar masalahnya berada pada sistem ekonomi kapitalisme yang tidak merata dan menimbulkan ketimpangan. Sistem ini menyebabkan akumulasi kekayaan hanya di tangan segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Kebijakan seperti penghapusan subsidi bahan bakar dan dominasi konglomerat dalam sektor-sektor penting semakin memperlebar jurang kesenjangan sosial. Negara lebih fokus pada proyek-proyek besar, seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), yang kerap dinilai tidak langsung berdampak pada kesejahteraan rakyat. Sayangnya, komitmen negara dalam membuka lapangan kerja pun masih terbilang minim.

Permasalahan ini seharusnya ditangani secara menyeluruh, bukan sekadar dengan solusi permukaan.

Pandangan Islam dalam Mengatasi Kemiskinan

Islam memberikan solusi yang menyeluruh terhadap permasalahan kemiskinan. Tidak hanya melihat dari sisi ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan aspek spiritual dan sosial dalam memenuhi kebutuhan hidup secara bermartabat.

Dalam pandangan Syekh Abdul Qadim Zallum dalam Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, fakir adalah orang yang penghasilannya belum mencukupi untuk kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, dan tempat tinggal, dan oleh karena itu berhak mendapatkan zakat. Sementara itu, miskin adalah orang yang tidak memiliki harta, namun tetap menjaga harga diri dan tidak meminta-minta.

Islam mewajibkan laki-laki, terutama kepala keluarga, untuk bekerja. Oleh karena itu, negara yang menerapkan sistem Islam harus bertanggung jawab menyediakan pekerjaan dan menjamin kebutuhan pokok rakyat. Mengabaikan tanggung jawab ini berarti mengingkari perintah Allah Swt.

Sistem ekonomi Islam didesain untuk menjamin kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Negara wajib memastikan ketersediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan layanan kesehatan. Selain itu, negara harus mendorong terciptanya lapangan kerja dan mencegah penumpukan kekayaan hanya pada kelompok tertentu.

Islam melarang praktik ekonomi yang bersifat merugikan masyarakat seperti riba, monopoli, kartel, dan penimbunan. Dalam sistem ini, kepemilikan dibagi menjadi tiga jenis: individu, negara, dan umum. Aset-aset strategis seperti minyak, gas, dan tambang termasuk milik umum dan tidak boleh dikuasai oleh swasta atau asing.

Dengan mekanisme ekonomi ini, kesempatan berusaha dan bekerja menjadi lebih merata. Negara Islam juga memiliki potensi besar untuk menjadi negara industri yang mampu membuka banyak lapangan kerja. Hasil kekayaan negara akan digunakan untuk membiayai pendidikan, layanan kesehatan, serta infrastruktur yang dibutuhkan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir pihak atau korporasi asing.

Negara wajib menjamin agar setiap laki-laki yang mampu bekerja mendapatkan pekerjaan. Jika tidak memungkinkan, maka negara harus memberikan bantuan hingga ia memperoleh pekerjaan. Pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dan transportasi juga menjadi tanggung jawab negara secara penuh.

Melalui lembaga keuangan negara seperti Baitul Mal, pemasukan dari zakat, jizyah, kharaj, fa’i, ghanimah, dan aset milik umum akan dikelola secara adil dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk bantuan bagi fakir miskin.

Semua ini hanya bisa terwujud jika Islam diterapkan secara menyeluruh dalam tatanan kehidupan bernegara. Hanya sistem Islam yang mampu membawa rakyat menuju kesejahteraan yang hakiki.

Wallahalam bissawab.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *